Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/03/2015, 15:09 WIB


Oleh: Al Araf

JAKARTA, KOMPAS - Pengajuan nama Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon baru Kapolri oleh Presiden Joko Widodo kepada DPR sepertinya akan menghadapi hambatan dan tantangan politik di parlemen.

Dalam sidang paripurna lalu, sejumlah fraksi di DPR menyatakan bahwa uji kepatutan dan kelayakan terhadap Badrodin Haiti baru dilakukan setelah Presiden Jokowi menjelaskan alasan yang mendasari keputusan pembatalan calon Kapolri sebelumnya kepada DPR. Dengan sikap dan langkah DPR ini, penantian publik untuk melihat Kapolri definitif tampaknya masih belum menemukan kejelasan. Sebab, DPR bukannya segera menghentikan polemik dengan memproses calon baru, tetapi justru menggantungnya. Pergantian Kapolri pun terancam semakin berlarut-larut.

Polemik yang berkepanjangan dalam pergantian Kapolri tentunya sangat kontraproduktif dan menimbulkan dampak yang negatif. Tidak hanya bagi Polri secara institusional, tetapi juga masyarakat. Banyak energi yang akan terkuras oleh polemik yang tak berujung ini.

Polemik DPR

Pergantian Kapolri sejatinya merupakan hak prerogatif Presiden. Adalah kewenangan Presiden untuk memberhentikan dan mengangkat Kapolri. Namun, mengacu pada Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pergantian Kapolri juga mensyaratkan persetujuan DPR. Seorang calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden terlebih dulu harus mengikuti uji kepatutan dan kelayakan melalui proses politik di DPR untuk kemudian ditetapkan dan dilantik oleh Presiden.

Dalam kenyataannya, proses politik di DPR rawan politisasi. Proses politik di DPR tidak sekadar sebagai ruang untuk menguji kepatutan dan kelayakan seorang calon Kapolri, tetapi juga dibawa ke dalam tarik-menarik berbagai kepentingan politik yang bisa mengancam independensi Polri. Proses politik di DPR telah menjerumuskan Polri ke dalam lingkaran pertarungan politik kekuasaan. Proses politik di DPR itulah yang menjadi salah satu hambatan dalam membangun Polri yang profesional.

Yang menjadi persoalan adalah politik kekuasaan hari ini menunjukkan wajah politik yang oligarki sehingga proses politik pergantian Kapolri rawan dengan pengaruh berbagai kepentingan kelompok-kelompok oligarki tersebut. Realitas politik oligarki memang memengaruhi potret kepolisian kita hari ini karena sejatinya baik atau buruknya Polri salah satunya ditentukan dari baik atau buruknya wajah politik kekuasaan itu.

Dalam sistem presidensial, sepantasnya penunjukan Kapolri dan juga Panglima TNI cukup melalui persetujuan Presiden tanpa perlu persetujuan DPR karena penunjukan Kapolri dan Panglima TNI adalah hak prerogatif Presiden. Kalau dalam menunjuk menteri saja Presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR lalu kenapa dalam penunjukan Kapolri dan Panglima TNI harus melalui persetujuan DPR? Padahal, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan mereka sejajar.

Sejarah adanya pengaturan tentang pelibatan DPR dalam pergantian Panglima TNI dan Kapolri di dalam UU TNI ataupun UU Polri tidak bisa dilepaskan dari alasan kondisi transisi politik di Indonesia. Pada masa awal reformasi, demi menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden terhadap TNI dan Polri sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, parlemen perlu diberi peran untuk memberikan persetujuan terhadap calon Kapolri atau Panglima TNI yang diajukan Presiden.

Akan tetapi, dalih transisi politik itu sepantasnya sudah bisa diakhiri pada masa kini karena realitas demokrasi saat ini yang sedikit banyak berjalan dengan baik. Sudah sepantasnya proses pergantian, Kapolri dan Panglima TNI cukup dipilih Presiden tanpa melalui persetujuan DPR.

Sebagai lembaga politik, parlemen semestinya lebih memainkan perannya sebagai lembaga yang mengawasi kinerja Kapolri dan Panglima TNI yang dipilih Presiden. Kalau Kapolri dan Panglima TNI juga perlu persetujuan DPR, sulit diharapkan parlemen akan melakukan pengawasan kepada TNI dan Polri secara obyektif dan efektif.

Sikap DPR yang tidak segera melakukan uji kelayakan terhadap calon Kapolri baru ini memang menjadi masalah tersendiri. Namun, jika mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri, sebenarnya dalam 20 hari sejak surat Presiden diterima DPR dan belum ada sikap apakah disetujui atau ditolak, Presiden bisa melantik calon Kapolri baru (Pasal 11 Ayat 3 dan Ayat 4).

Membangun kepercayaan

Polemik pergantian Kapolri yang berkepanjangan bukan sesuatu yang bersifat produktif dan penting untuk segera diakhiri. Dengan masalah dan tantangan yang besar yang dihadapi Polri, publik menanti nakhoda baru Polri yang diharapkan bisa mendorong perubahan di institusi Polri selaras dengan harapan publik ke depan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Nasional
Hari Ke-6 Pemberangkatan Haji, 41.189 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Hari Ke-6 Pemberangkatan Haji, 41.189 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Nasional
UKT Naik Bukan Sekadar karena Status PTNBH, Pengamat: Tanggung Jawab Pemerintah Memang Minim

UKT Naik Bukan Sekadar karena Status PTNBH, Pengamat: Tanggung Jawab Pemerintah Memang Minim

Nasional
Di APEC, Mendag Zulhas Ajak Jepang Perkuat Industri Mobil Listrik di Indonesia

Di APEC, Mendag Zulhas Ajak Jepang Perkuat Industri Mobil Listrik di Indonesia

Nasional
Biaya UKT Naik, Pengamat Singgung Bantuan Pendidikan Tinggi Lebih Kecil dari Bansos

Biaya UKT Naik, Pengamat Singgung Bantuan Pendidikan Tinggi Lebih Kecil dari Bansos

Nasional
Penuhi Kebutuhan Daging Sapi Nasional, Mendag Zulhas Dorong Kerja Sama dengan Selandia Baru

Penuhi Kebutuhan Daging Sapi Nasional, Mendag Zulhas Dorong Kerja Sama dengan Selandia Baru

Nasional
UKT Naik, Pengamat: Jangan Sampai Mahasiswa Demo di Mana-mana, Pemerintah Diam Saja

UKT Naik, Pengamat: Jangan Sampai Mahasiswa Demo di Mana-mana, Pemerintah Diam Saja

Nasional
Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Nasional
Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Nasional
Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Nasional
Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com