Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Tafsir Jokowi

Kompas.com - 20/10/2014, 11:30 WIB


Oleh: Radhar Panca Dahana

Sejujurnya sangat menjenuhkan—bahkan menggelikan—untuk berpikir atau menulis mengenai hal yang hari-hari ini menjadi tren atau semacam trending topic dalam media sosial.
Sebuah kecenderungan yang menyuburkan tumbuhnya fashioned atau fad intellectual. Semacam pemikir atau pengamat yang menggunakan kelincahan literer dan pelisanan, bukan pikirannya, sekadar sebagai gincu untuk mengikuti isu publik seperti kita tergiur oleh busana dan gadget terbaru hanya karena renda-renda atau fitur tambahan yang lucu.

Namun, itulah yang harus saya lakukan, sekali lagi, membahas sebuah frasa pendek "revolusi mental", produk politik yang bagi saya lebih menghebohkan, lebih besar, bahkan berpeluang lebih mampu menciptakan perubahan fundamental, ketimbang kursi kekuasaan (kepresidenan) yang akhirnya dimenangi seseorang lewat proses yang melodramatik dan sarat preseden. Kedua hal itu berhulu kepada seorang pengusaha mebel yang tidak punya latar elitis atau kelas penguasa dalam dimensi apa pun, seorang dengan kesederhanaan begawan: Joko Widodo (Jokowi).

Peluang menciptakan perubahan fundamental, satu bentuk perubahan yang secara instingtif diharapkan masyarakat banyak, itulah yang menurut saya perlu dikawal, jika dapat dibantu secara maksimal, sekurangnya menghindarinya dari pendangkalan makna, reduksi dari tujuan-tujuan idealnya, bahkan penyelewengan dari intensi dasarnya. Hal ini menjadi urgen ketika ternyata banyak salah tafsir terjadi pada ide itu, berangkat dari salah tafsir tentang empunya ide itu sendiri, Jokowi. Impresi, harapan palsu, hingga ilusi terhadap sosok Jokowilah harus dicegah karena tidak saja merugikan Jokowi sendiri, pada gilirannya ia akan merugikan signifikansi hingga implementasi dari "revolusi mental" yang menjadi tag line kekuasaan yang kini digenggamnya.

Kecerdasan tradisional

Hal pertama dan utama adalah pencitraan stigmatik yang menganggap Jokowi memiliki kecerdasan—katakanlah—sebagaimana yang kita bayangkan ada pada Obama atau tokoh dunia lain. Bahkan juga apabila dibandingkan dengan seorang direktur atau eksekutif sebuah organisasi/perusahaan pun, performa Jokowi sesungguhnya di bawah standar atau kategori-kategori canggih manajemen-performatif modern. Karena itu, Anda akan merugi jika mengharapkan, misalnya, Jokowi dapat mempresentasi konsep atau ide-ide (kenegaraan atau pemerintahannya) laiknya seorang eksekutif andal.

Pelisanan atau retorikanya sungguh tak cakap, diksinya miskin, bahasa tubuh kaku, paralingual tak mampu dimainkan untuk memperkuat pernyataannya sendiri, bahasa Inggris tak fasih, bicara simbol atau visual display tidak mahir, dan seterusnya. Kualitas mediokratik presentasinya mungkin ada pada tingkatan middle-manager. Jokowi tentu saja tidak sama sekali tak cerdas. Dalam standar atau paham kecerdasan yang, misalnya, kita dapatkan dari seorang Habibie, Gus Dur, apalagi Soekarno, bahkan ahli-ahli retorika yang silih ganti tampil di layar datar televisi. Namun, mengapa ia begitu hebat? Mengapa ia bisa menaklukkan lebih dari separuh rakyat negeri ini, dan menjadi seorang pemimpin tertinggi, menumbangkan begitu banyak tokoh cerdas, berpengalaman, bermodal besar, berjaringan luas, dan sebagainya?

Jawabannya cuma satu: Jokowi "cerdas". Bukan cerdas dalam pengertian modern yang akademik, saintifikal, atau berbasis pada rasionalisme-materialistik atau logosentrisme oksidental, sebagaimana tokoh-tokoh kita sejak masa pergerakan awal dulu. Jokowi "hanyalah" sarjana strata satu kehutanan, tidak lebih. Apa yang dimiliki Jokowi adalah semacam ”kecerdasan” tradisional, bisa juga primordial, yang dia dapatkan semata dari penghayatannya yang tulen pada sumber pengetahuan yang ada di dalam nature atau alam bawah sadarnya sebagai bagian organik dari suku Jawa. Inilah satu bentuk kecerdasan yang tak pernah dan mungkin tak bisa dipetakan, disistematisasi, difalsifikasi atau diteorisasikan oleh pelbagai bentuk epistemologi yang ada saat ini.

Kecerdasan ini memang tidak "disadari" ("sadar" dalam pengertian akal yang sistematikanya dikelola oleh rasionalisme positif), tetapi ia eksis atau mengendap begitu saja dalam diri kita. Kita umumnya, tidak hanya tidak "menyadari", tetapi juga tidak "mengetahui" karena kecerdasan itu sejak kanak kita tutupi (cover) dengan satu bentuk kultur/adab dengan kecerdasan yang sangat lain/berbeda. Kultur/adab kontinental yang kita internalisasi sejak PAUD hingga posdoktoral.

Kapasitas dan kapabilitas dari kecerdasan tradisional ini, jika tidak seimbang, saya kira, lebih ampuh ketimbang kecerdasan rasional modern. Kapabilitasnya dalam mengidentifikasi masalah, menemukan substansi, mengkreasi solusinya yang inovatif, dan mengimplementasikannya dalam praksis (kebijakan) hidup sehari-hari. Kecerdasan ini tidak bermain di atas meja, dalam angka-angka, eksposisi ilmiah atau simpulan-simpulan spekulatif yang reduksionistik, sebagaimana hasil riset-riset sejumlah laboratorium sosial.

Kapasitas mental

Kecerdasan tradisional Jokowi membutuhkan telinga, mata, hidung, peraba, hingga bulu tengkuk yang meremang, darah yang menggejolak, atau jiwa yang empatik untuk melahirkan gereget bagi sebuah finding tentang—katakanlah—substansi dari sebuah masalah. Karena itu, menurut saya, tanpa blusukan, Jokowi tak bisa berbuat banyak, bahkan akan menjadi "bukan apa-apa", selain seorang penguasa dan takhta belaka. Kecerdasan semacam ini mengintegrasikan beberapa bagian fundamen manusia yang selama ini dilupakan bahkan dinafikan oleh adagium klasik cogito ergo sum, yakni badan dan perasaan (jiwa, nurani, dan lain-lain). Kecerdasan ini membuktikan bahwa bukan hanya "aku berpikir", tetapi juga "aku merasa" dan "aku bermetabolisme" adalah penanda dasar atau argumen fundamental dari esksitensi, dari adanya: "aku".

Kecerdasan holistik atau komprehensif, yang didaur dari kultur/adab tradisional/primordial inilah yang saya kira dimaksud oleh Jokowi dalam term kontroversial itu: mental. Pandirnya, dalam seruan ini, bukan kapasitas akali yang perlu diubah dan dikembangbiakkan, tetapi justru kapasitas itu harus dikendalikan, dan sebaliknya kapasitas "mental" (dalam signifikansi valuatif seperti terjelas di atas) yang dibutuhkan, tidak hanya sebagai penyeimbang dari kemajuan rasionalisme positif, tetapi juga untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan (fallacies) dari produk budaya oksidental itu.

Dengan cara berpikir ini, cara berpikir yang tidak dikerangkeng atau dikurung dalam boks logosentrisme european—yang celakanya sudah dianggap given oleh umumnya kaum terpelajar Indonesia—inilah kita akan dapat memafhumi bahwa "revolusi mental" yang dimaksud tak lain adalah sebuah abstraksi atau—boleh jadi—transendensi dari figur Jokowi sendiri. Dari abstraksi ini, sebaiknya kita tidak berharap berlebihan kepada Jokowi untuk mengkreasi istilah atau term-term ilmiah-populer yang bisa mengangkut semua pemahamannya tentang dunia kawruh, tentang ngelmu dadi kalaku, tentang hakikat dan eksistensi dari bagian fundamental–bahkan ilahiah—manusia yang selama ini ditelantarkan pemikiran modern: rasa (batin/spirit) dan tubuh.

Karena itu, saya menulis ini untuk mendahului perkiraan saya akan munculnya serangan cukup mematikan (yang syukurnya belum dilakukan) dari lawan atau pesaing Jokowi terkait dengan "revolusi mental" ini. Serangan yang hanya berisi dua pertanyaan: "Apa dan siapa yang dimaksud, atau contoh dari revolusi mental itu?" dan "Apa Anda sendiri (Jokowi) sudah melakukan revolusi itu sehingga Anda punya posisi untuk mengimbau atau memerintah orang lain melakukan hal yang sama?" Saya perhitungkan, penyerang dengan dua pertanyaan di atas akan mendapatkan kemenangan, setidaknya secara retorik. Namun, kemenangan retorika bukankah hasil tertinggi dari kerja/upaya politik? Karena di situlah sesungguhnya suara juga kekuasaan diperoleh. Karena itu, sangat tak fair jika kita menuntut Jokowi menjelaskan satu hal yang memang dalam bahasa ilmiah tak pernah dan tidak bisa dijelaskan, bahkan bagi kecerdasan tradisional itu sendiri mungkin tidak perlu dijelaskan, tetapi dibuktikan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Nasional
PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

Nasional
Solusi Wapres Atasi Kuliah Mahal: Ditanggung Pemerintah, Mahasiswa dan Kampus

Solusi Wapres Atasi Kuliah Mahal: Ditanggung Pemerintah, Mahasiswa dan Kampus

Nasional
Ketua KPU Bantah Dugaan Asusila dengan Anggota PPLN

Ketua KPU Bantah Dugaan Asusila dengan Anggota PPLN

Nasional
Soal Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, Sekjen PDI-P: DPP Dengarkan Harapan Rakyat

Soal Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, Sekjen PDI-P: DPP Dengarkan Harapan Rakyat

Nasional
DPR Pastikan Hasil Pertemuan Parlemen di WWF Ke-10 Akan Disampaikan ke IPU

DPR Pastikan Hasil Pertemuan Parlemen di WWF Ke-10 Akan Disampaikan ke IPU

Nasional
Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU

Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU

Nasional
Djoko Susilo PK Lagi, Ketua KPK Singgung Kepastian Hukum

Djoko Susilo PK Lagi, Ketua KPK Singgung Kepastian Hukum

Nasional
KPK Geledah Kantor PT Telkom dan 6 Rumah, Amankan Dokumen dan Alat Elektronik

KPK Geledah Kantor PT Telkom dan 6 Rumah, Amankan Dokumen dan Alat Elektronik

Nasional
Pembukaan Rakernas Ke-5 PDI-P Akan Diikuti 4.858 Peserta

Pembukaan Rakernas Ke-5 PDI-P Akan Diikuti 4.858 Peserta

Nasional
KPK Gelar 'Roadshow' Keliling Jawa, Ajak Publik Tolak Politik Uang

KPK Gelar "Roadshow" Keliling Jawa, Ajak Publik Tolak Politik Uang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com