Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2013, 21:51 WIB
Budiman Tanuredjo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Hakim Agung Artidjo Alkostar betul-betul menunjukkan komitmennya yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Dia tidak sedang berpidato dan beretorika untuk memberantas korupsi sebagaimana dilakukan elite politik. Akan tetapi, Artidjo sedang berpidato melalui putusan-putusannya.

Dalam sidang tingkat kasasi, Artidjo bersama dengan hakim anggota, MS Lumme dan Mohammad Askin kembali memperberat hukuman terdakwa korupsi yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kini, giliran Angelina Sondakh, terdakwa dalam kasus korupsi penggiringan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan Nasional, yang hukumannya diperberat oleh Artidjo.

Vonis Artidjo menunjukkan bagaimana dia mewakili korps jubah hitam itu menjadikan palu hakim untuk menjawab kegelisahan bangsa yang belum juga berhasil memenangi perang terhadap korupsi.

Hukuman terhadap Angelina Sondakh, politisi Partai Demokrat itu, diperberat lebih dari dua kali lipat dari vonis 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Bukan hanya pemberatan hukuman badan, Artidjo juga mengharuskan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu untuk membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS.

Putusan Artidjo itu sebenarnya kembali pada apa yang dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut Angelina dihukum 12 tahun dan membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau setara dengan Rp 27,4 miliar. Artinya, Angelina harus membayar uang pengganti sekitar Rp 40 miliar.

Pertimbangan Artidjo bukan didasarkan pada pertimbangan positivisme hukum yang diterapkannya secara konservatif. Hakim Artidjo tidak sedang membaca teks pasal demi pasal dan kemudian mengaitkannya dengan teori pembuktian. Dia justru mengaitkannya dengan rasa keadilan publik yang terkoyak dengan perbuatan korupsi. Inilah corak keadilan progresif Artidjo yang selayaknya dijadikan panutan!

Putusan Artidjo itulah yang diapresiasi oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, koleganya di Yogyakarta. ”Vonis Artidjo itu mencerminkan rasa kepekaan dan keadilan sosial,” demikian komentar Busyro. Kita sependapat dengan Busyro. Pikiran progresif Artidjo dalam upaya bangsa memberantas korupsi harus terus digemakan agar bisa menjadi yurisprudensi dan diikuti hakim-hakim lain.

Skuad Artidjo harus diperkuat. Hakim berpikiran progresif yang mampu menangkap kegeraman bangsa harus diberi tempat yang layak untuk ikut berperan menolong bangsa memberantas korupsi dan narkotika. Hakim progresif itu harus disebar di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Bangsa ini membutuhkan hakim berpikiran progresif seperti Artidjo, bukan hakim yang menjadikan hukum dan vonis hakim sebagai industri yang bisa diperjualbelikan.

Mahkamah Agung perlu mencari dan menempatkan hakim progresif di Jakarta sebagai pusat korupsi untuk menjadi pengadil terhadap kelakuan para penjarah uang negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com