MPR tak lagi membuat GBHN yang dimandatkan kepada presiden. Pun tak lagi memilih presiden dan wakil presiden.
Tak ada lagi sebutan “presiden sebagai mandataris MPR”. Presiden menjalankan visi-misi dan programnya sendiri sesuai janji kampanye.
Kritik Megawati sesungguhnya telah menjadi kerisauan banyak kalangan. Namun, karena masyarakat politik Indonesia saat itu masih dihinggapi euforia reformasi, kerisauan itu hanya terdengar sayup-sayup. Mungkin tak terdengar sama sekali di pusat-pusat kekuasaan pengambil keputusan, termasuk MPR.
Respons terhadap ide Megawati itu juga datar saja. Ada yang menganggapnya aneh, kehilangan rasionalitas.
Mengembalikan wewenang MPR menyusun GBHN hanya akan membuat kegaduhan politik, karena harus melakukan amandemen konstitusi. Meski secara terbatas.
Boleh jadi karena respons politiknya lemah, PDI-P sendiri kelihatan tak menindaklanjuti. Isu amandemen terbatas untuk memberi wewenang MPR menyusun GBHN lalu hilang ditelan dinamika politik yang lain.
Sejarah tak pernah berakhir. Apakah ide pemimpin MPR tersebut akan mendapatkan dukungan politik? Entahlah. Sejarah akan membuktikan.
Yang pasti, menurut saya, gagasan supremasi MPR memiliki landasan logis dari sudut Pancasila sebagai dasar negara.
Secara tekstual, Pembukaan UUD 1945 menegaskan keutamaan “permusyawaratan” (perwakilan) dalam sistem demokrasi Indonesia. Pidato Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) 1 Juni 1945 pun di antaranya menegaskan keutamaan permusyawaratan.
“Saya yakin syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup,” tegas Bung Karno.
Demokrasi dilihat bukan dari cara memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut memerintah. Namun, manfaatnya bagi rakyat secara keseluruhan.
Demokrasi dibaca pula harus beriringan dengan nasionalisme. Yang timbul tidak karena “rasa” saja, tapi karena keadaan nyata masyarakat terjajah.
Keadaan yang membangkitkan gelora, semangat, dan kesadaran bersama untuk bersatu menolak setiap tindakan yang menjadi sebab ketidakadilan dan kemiskinan. Agar tidak ada kaum yang tertindas, yang papa-sengsara.
Demokrasi haruslah menyelamatkan rakyat, mengenyangkan perut rakyat. Harus menyejahterakan rakyat.
Dijelaskan pula pada bagian Penjelasan UUD 1945 bahwa “semangat penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan” tak kalah penting daripada bunyi pasal-pasal dalam konstitusi.
Semangat yang dimaksud adalah semangat kekeluargaan/gotong royong, bukan semangat individualisme.
Karena itu, sistem ketatanegaraan dipilih yang mengutamakan permusyawaratan. Dibentuk lah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi dan terlengkap.
Anggotanya meliputi semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih melalui pemilu, plus utusan daerah dan golongan.
MPR dibayangkan sebagai penjelmaan rakyat, pengemban kedaulatan rakyat. Penamaannya pun menggunakan kata “permusyawaratan”, yang menunjukkan betapa musyawarah menjadi nilai utama, yang menyemangati kerja lembaga tersebut.
Sebagai wujud lembaga tertinggi, MPR diberi wewenang amat besar. Bukan hanya menetapkan konstitusi, tapi juga menyusun GBHN, dan mengangkat serta memberhentikan presiden.
Jelas sekali dasar berpikir para pendiri negara. GBHN diciptakan sebagai perangkat untuk menuntun penyelenggara pemerintahan – dipimpin presiden – dalam mewujudkan tujuan bernegara.