Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Mengembalikan Supremasi MPR, untuk Apa?

Kompas.com - 10/06/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan “silaturahmi kebangsaan” dengan sejumlah tokoh nasional. Topik yang didiskusikan di antaranya soal perlunya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) untuk mengembalikan supremasi MPR.

Salah satu isunya adalah pengembalian pemilihan presiden (Pilpres) ke MPR seperti sebelum era reformasi. Bukan lagi pemilihan langsung sebagaimana dipraktikkan sejak 2004 hingga 2024.

Isu tersebut menjadi perhatian pemimpin MPR setelah mencermati perjalanan pemilu, terutama Pilpres langsung sejak 2004 hingga 2024.

Di samping itu, menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo, juga adanya persoalan-persoalan negara yang belum mampu terjawab oleh konstitusi.

Sebagai contoh, apabila terjadi bencana alam berskala besar, pemberontakan, peperangan, atau keadaan darurat lain yang menyebabkan Pemilu tak dapat digelar sebagaimana perintah konstitusi.

Dalam keadaan tersebut, tidak ada presiden dan wakil presiden yang terpilih dari produk Pemilu, lalu siapa pihak yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya demikian (Kompas.com, 29/05/2024).

Ketua MPR menilai bahwa semua pemimpin partai politik (parpol) merasakan betapa mahal dan brutal pemilu 2024 baru lalu.

"Saya yakin dan percaya mereka semua merasakan apa yang menjadi kekhawatiran kita hari ini, mereka mengalami Pemilu kemarin sangat brutal. Yang sangat mahal, transaksional yang tidak masuk di akal," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu (Kompas.com, 05/06/2024).

Topik pengembalian supremasi MPR ternyata juga memperoleh respons positif dari Amien Rais, Ketua MPR periode 1999 – 2004.

Bahkan, tokoh kunci amandemen UUD 1945 yang melucuti supremasi MPR kala itu mendatangi sendiri pemimpin MPR di Kompleks Parlemen Senayan pada Rabu, 5 Juni 2024.

Amien Rais mengaku naif ketika dulu melucuti kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden. Padahal, saat itu Amien Rais berharap dengan perubahan itu dapat menekan terjadinya politik uang.

"Sekarang saya minta maaf. Jadi dulu, itu kita mengatakan kalau dipilih langsung one man one vote, mana mungkin ada orang mau menyogok 120 juta pemilih, mana mungkin? Perlu puluhan mungkin ratusan triliun. Ternyata mungkin. Nah itu," kata Amien Rais (Kompas.com, 05/06/2024).

Kemajuan

Topik amandemen konstitusi untuk mengembalikan supremasi MPR, yang di antaranya mengembalikan Pilpres ke MPR, tentu saja menarik.

Saya melihat ada kemajuan dari sisi proses politik, karena disampaikan sendiri oleh pemimpin MPR dalam kegiatan bertajuk “silaturahmi kebangsaan”.

Ada kesan pemimpin MPR sangat serius. Bahkan, menurut Bambang Soesatyo, sejak empat tahun lalu MPR sudah meminta sejumlah perguruan tinggi untuk melakukan kajian mengenai amandemen UUD 1945.

Substansi serupa sesungguhnya pernah digulirkan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas PDI-P, 10-12 Januari 2016.

Saat itu Megawati menyoroti secara tajam praktik bernegara pascareformasi yang dilukiskan bagaikan tari poco-poco.

Hal itu akibat tidak adanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Megawati melihat perlunya MPR menyusun GBHN, yang oleh Bung Karno pada 1959 disebut “Pembangunan Semesta Berencana”.

Menurut Megawati, para calon pemimpin hanya sibuk bertarung gagasan di dalam menyusun visi misi, daripada mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan.

Ia menuturkan bahwa gagasan pilpres langsung ditelurkan untuk mendekatkan rakyat kepada calon pemimpinnya. Namun, ketika terjadi pergantian pemimpin, berganti pula kebijakan yang dilahirkan di dalam pembangunan.

“Saya sering berseloroh, inilah produk pemilihan langsung, ‘pemimpin visi misi’ lima tahunan. Lama-lama saya berpikir, Indonesia ini suka berdansa, maju satu langkah, mundur sepuluh langkah. Seperti poco-poco,” kata Megawati saat membuka Rakernas di Hall D Jakarta International Expo Kemayoran (Kompas.com, 10/01/2016).

MPR tak lagi membuat GBHN yang dimandatkan kepada presiden. Pun tak lagi memilih presiden dan wakil presiden.

Tak ada lagi sebutan “presiden sebagai mandataris MPR”. Presiden menjalankan visi-misi dan programnya sendiri sesuai janji kampanye.

Kritik Megawati sesungguhnya telah menjadi kerisauan banyak kalangan. Namun, karena masyarakat politik Indonesia saat itu masih dihinggapi euforia reformasi, kerisauan itu hanya terdengar sayup-sayup. Mungkin tak terdengar sama sekali di pusat-pusat kekuasaan pengambil keputusan, termasuk MPR.

Respons terhadap ide Megawati itu juga datar saja. Ada yang menganggapnya aneh, kehilangan rasionalitas.

Mengembalikan wewenang MPR menyusun GBHN hanya akan membuat kegaduhan politik, karena harus melakukan amandemen konstitusi. Meski secara terbatas.

Boleh jadi karena respons politiknya lemah, PDI-P sendiri kelihatan tak menindaklanjuti. Isu amandemen terbatas untuk memberi wewenang MPR menyusun GBHN lalu hilang ditelan dinamika politik yang lain.

Permusyawaratan

Sejarah tak pernah berakhir. Apakah ide pemimpin MPR tersebut akan mendapatkan dukungan politik? Entahlah. Sejarah akan membuktikan.

Yang pasti, menurut saya, gagasan supremasi MPR memiliki landasan logis dari sudut Pancasila sebagai dasar negara.

Secara tekstual, Pembukaan UUD 1945 menegaskan keutamaan “permusyawaratan” (perwakilan) dalam sistem demokrasi Indonesia. Pidato Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) 1 Juni 1945 pun di antaranya menegaskan keutamaan permusyawaratan.

“Saya yakin syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup,” tegas Bung Karno.

Demokrasi dilihat bukan dari cara memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut memerintah. Namun, manfaatnya bagi rakyat secara keseluruhan.

Demokrasi dibaca pula harus beriringan dengan nasionalisme. Yang timbul tidak karena “rasa” saja, tapi karena keadaan nyata masyarakat terjajah.

Keadaan yang membangkitkan gelora, semangat, dan kesadaran bersama untuk bersatu menolak setiap tindakan yang menjadi sebab ketidakadilan dan kemiskinan. Agar tidak ada kaum yang tertindas, yang papa-sengsara.

Demokrasi haruslah menyelamatkan rakyat, mengenyangkan perut rakyat. Harus menyejahterakan rakyat.

Dijelaskan pula pada bagian Penjelasan UUD 1945 bahwa “semangat penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan” tak kalah penting daripada bunyi pasal-pasal dalam konstitusi.

Semangat yang dimaksud adalah semangat kekeluargaan/gotong royong, bukan semangat individualisme.

Karena itu, sistem ketatanegaraan dipilih yang mengutamakan permusyawaratan. Dibentuk lah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi dan terlengkap.

Anggotanya meliputi semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih melalui pemilu, plus utusan daerah dan golongan.

MPR dibayangkan sebagai penjelmaan rakyat, pengemban kedaulatan rakyat. Penamaannya pun menggunakan kata “permusyawaratan”, yang menunjukkan betapa musyawarah menjadi nilai utama, yang menyemangati kerja lembaga tersebut.

Sebagai wujud lembaga tertinggi, MPR diberi wewenang amat besar. Bukan hanya menetapkan konstitusi, tapi juga menyusun GBHN, dan mengangkat serta memberhentikan presiden.

Jelas sekali dasar berpikir para pendiri negara. GBHN diciptakan sebagai perangkat untuk menuntun penyelenggara pemerintahan – dipimpin presiden – dalam mewujudkan tujuan bernegara.

Presiden disebut “mandataris” (orang yang menerima mandat) MPR. Presiden tidak mengikuti pikiran dan kemauan sendiri. Namun, menjalankan mandat yang diberikan MPR. Presiden harus tunduk dan menjalankan GBHN yang ditetapkan MPR. Presiden bertanggung jawab kepada MPR.

Saya membacanya sebagai pelembagaan Pancasila dalam sistem ketatanegaraan. Sebagai negara pascakolonial yang multikultur, beraneka suku bangsa dan agama, Indonesia membutuhkan cara pengelolaan pemerintahan yang sanggup menjamin keseimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesatuan.

Yang dituntut bukan hanya pemenuhan hak-hak individu dan kelompok. Melainkan juga kewajiban mengembangkan solidaritas sosial (gotong royong), toleransi, dan kerukunan untuk kebaikan bersama. Inilah konsep demokrasi permusyawaratan.

Namun, arus politik pasca-runtuhnya Orde Baru mengubah secara mendasar konsep tersebut. Praktik Orde Baru yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme dinilai bermula dari sistem demokrasi permusyawaratan itu.

Selanjutnya, supremasi MPR dilucuti. Kewenangan MPR dalam menyusun GBHN dan mengangkat presiden ditiadakan. MPR diturunkan posisinya dari lembaga tertinggi. MPR menjadi lembaga tinggi yang setara dengan lembaga tinggi yang lain.

Demokrasi dijalankan dengan lebih menonjolkan hak individu. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Pun kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota.

Sebuah sistem yang terbukti tidak murah. Tak juga mengurangi korupsi, kolusi, nepotisme. Malahan terkesan makin hebat, terang-terangan, dan seperti memperoleh pembenaran dari biaya politik yang tidak murah.

Juga dibuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggantikan utusan daerah dan golongan di MPR. Anggotanya pun dipilih langsung. Tapi, kewenangannya kabur, tumpang tindih dengan DPR.

GBHN digantikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang ditetapkan melalui Undang-Undang. Secara teoritik, RPJPN diturunkan ke dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) yang dibuat presiden untuk periode lima tahunan.

Namun, karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada MPR, maka tidak ada pertanggungjawaban yang harus dibuat presiden kepada rakyat. Satu-satunya pertanggungjawaban presiden kepada rakyat melalui mekanisme pemilu lima tahunan.

Entah untuk presiden yang menjabat pada periode kedua, atau sengaja tak mengambil hak konstitusionalnya pada lima tahun kedua.

Presiden juga bisa tidak patuh kepada RPJPN. Ia akan mengikuti pikiran dan kepentingan sendiri sesuai janji kampanye. RPJM yang dibuatnya bukan mengacu RPJPN, melainkan mengikuti janji kampanye.

Bukan mustahil

Mengembalikan supremasi MPR tentu saja bukan mustahil. Sangat bergantung pada elite politik, terutama para pemimpin parpol. Kerangka berpikirnya sudah disediakan oleh para pendiri bangsa.

Menurut hemat saya, GBHN sangatlah penting dalam perspektif Pancasila sebagai dasar negara. Kebijakan dasar pembangunan seyogyanya tidaklah diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi kekuatan mayoritas.

Kebijakan dasar itu sebaiknya dirumuskan bersama melalui mekanisme musyawarah seluruh representasi kekuatan politik rakyat dalam suatu lembaga tertinggi dan terlengkap. Agar presiden tidak mengembangkan politik sendiri, selera personal, kepentingan tertentu, tetapi menjalankan prinsip-prinsip yang ditetapkan MPR dalam suatu GBHN.

Pun kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi. Bukankah UUD hasil amandemen empat kali sejatinya masih menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi, meski secara terselubung?

Presiden memang tidak lagi dipilih oleh MPR. MPR pun tidak bisa langsung menjatuhkan presiden tanpa melalui mekanisme “impeachment” yang memerlukan usulan DPR dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, dalam ketentuan prosedurnya ternyata MPR-lah yang diberikan wewenang sebagai pemutus terakhir. Secara normatif, bisa atau tidak presiden dimakjulkan tetap berada di MPR.

Sejarah tak pernah berakhir. Apakah ide mengembalikan supremasi MPR yang digagas pemimpin MPR 2019 – 2024 akan ditindaklanjuti MPR 2024 – 2029 melalui amandemen konstitusi? Kita tunggu saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kejagung Ajukan Banding Vonis Achsanul Qosasi di Kasus Korupsi BTS

Kejagung Ajukan Banding Vonis Achsanul Qosasi di Kasus Korupsi BTS

Nasional
Anies Ingin Bertemu Prabowo Sebelum Pilkada 2024, Demokrat: Kita Harus Sambut Baik

Anies Ingin Bertemu Prabowo Sebelum Pilkada 2024, Demokrat: Kita Harus Sambut Baik

Nasional
Demokrat Anggap Ridwan Kamil Cocok Masuk Jakarta, Ungkit Jokowi dari Solo

Demokrat Anggap Ridwan Kamil Cocok Masuk Jakarta, Ungkit Jokowi dari Solo

Nasional
Sekjen PKS Sebut Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Maju Pilkada Jakarta

Sekjen PKS Sebut Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Maju Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Nilai Pintu Koalisi Masih Terbuka Meski PKS Usung Anies-Sohibul di Jakarta

PDI-P Nilai Pintu Koalisi Masih Terbuka Meski PKS Usung Anies-Sohibul di Jakarta

Nasional
Tinjau RSUD di Barito Timur, Jokowi Soroti Kurangnya Dokter Spesialis

Tinjau RSUD di Barito Timur, Jokowi Soroti Kurangnya Dokter Spesialis

Nasional
PDN Kena 'Ransomware', Pemerintah Dianggap Tak Mau Belajar

PDN Kena "Ransomware", Pemerintah Dianggap Tak Mau Belajar

Nasional
Jokowi Persilakan KPK Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden

Jokowi Persilakan KPK Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden

Nasional
PKS Klaim Tolak Tawaran Kursi Bacawagub DKI dari KIM, Pilih Usung Anies-Sohibul

PKS Klaim Tolak Tawaran Kursi Bacawagub DKI dari KIM, Pilih Usung Anies-Sohibul

Nasional
Penangkapan 103 WNA Terkait Kejahatan Siber Berawal dari Imigrasi Awasi Sebuah Vila di Bali

Penangkapan 103 WNA Terkait Kejahatan Siber Berawal dari Imigrasi Awasi Sebuah Vila di Bali

Nasional
Rumah Pensiun Jokowi Mulai Dibangun, Kemensetneg: Presiden Sendiri yang Memilih Lokasi

Rumah Pensiun Jokowi Mulai Dibangun, Kemensetneg: Presiden Sendiri yang Memilih Lokasi

Nasional
Serangan Siber PDN Dinilai Semakin Menggerus Kepercayaan Publik

Serangan Siber PDN Dinilai Semakin Menggerus Kepercayaan Publik

Nasional
Publik Dirugikan 'Ransomware' PDN Bisa Tuntut Perdata Pemerintah

Publik Dirugikan "Ransomware" PDN Bisa Tuntut Perdata Pemerintah

Nasional
KPK Tetapkan 9 Tersangka Korupsi Proyek Pengerukan Alur Pelayaran di 4 Pelabuhan

KPK Tetapkan 9 Tersangka Korupsi Proyek Pengerukan Alur Pelayaran di 4 Pelabuhan

Nasional
Notifikasi Dampak 'Ransomware' PDN Nihil, Sikap Pemerintah Dipertanyakan

Notifikasi Dampak "Ransomware" PDN Nihil, Sikap Pemerintah Dipertanyakan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com