JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahfud MD menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024, destruktif atau merusak tatanan hukum perundang-undangan di Indonesia.
Pasalnya, putusan MA itu sifatnya mengikat jika sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, wajib dijalankan. Tetapi, menjadi masalah karena putusan MA tersebut ternyata salah atau cacat hukum.
“Itu bikin kacau putusan MA karena begini, dalam tata hukum kita itu setiap putusan MA itu mengikat ya kan kalau sudah inkracht. Ya sudah mengikat, KPU (Komisi Pemilihan Umum) kan tidak bisa menghindar. Sementara ini jelas secara prosedur atau secara kewenangan ini (putusan) salah,” kata Mahfud dikutip dari podcast Terus Terang yang dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Rabu (5/6/2024).
Baca juga: Soal Putusan MA Terkait Batas Usia Calon Kepala Daerah, Mahfud: Destruktif, Tidak Progresif
Oleh karena itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menantang KPU, DPR, dan semua yang terkait untuk tidak menjalankan Putusan MA yang mengubah penghitungan batas usia calon kepala daerah tersebut.
“Oleh sebab itu, ini (putusan MA) bukan cuma cacat etik, cacat moral tapi juga cacat hukum. Nah kalau berani, ya lakukan saja ketentuan Pasal 17 Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa setiap keputusan yang cacat moral tidak usah dilaksanakan. Apalagi (ini) cacat hukum,” ujar Mahfud.
“Tidak bisa dibicarakan dengan DPR. Karena DPR sendiri sudah ada di Undang-Undang, (minimal usia) 30 tahun itu saat mendaftar (calon gubernur dan wakil gubernur), 25 tahun saat mendaftar (calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan wakil walikota),” katanya melanjutkan.
Sebelumnya, Mahfud menyebut, putusan MA itu salah karena isi peraturan yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersesuaian dengan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Dengan kata lain, tidak ada pertentangan.
“Destruktif bagi saya. Tidak progresif, makanya saya menanggapi ini, saya ingin mendengar penjelasan akademiknya. Dalam ilmu hukum perundang-undangan menurut saya salah (putusan MA),” katanya.
Baca juga: Mahfud: MA Jauh Lampaui Kewenangan, Jangan-jangan Hakim Ini Tidak Baca...
Mahfud menjelaskan bahwa Pasal 7 Ayat (1) UU Pilkada sudah jelas menyebut kententuan untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah.
Kemudian, Ayat (2) mengatur soal persyaratan termasuk soal usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur. Lalu, minimal 25 tahun untuk calon bupati dan/atau calon wakil bupati, serta calon walikota dan/atau calon walikota.
Oleh karena itu, menurut Mahfud, sudah jelas bahwa persyaratan yang diatur pada Pasal 7 Ayat (2) UU Pilkada adalah untuk mencalonkan dan dicalonkan menjadi kepala daerah.
Dengan demikian, peraturan yang dibuat KPU sudah sesuai dengan UU Pilkada jika mensyaratkan batasan umur dihitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah.
"Ini tiba-tiba dibatalkan katanya bertentangan, lah bertentangan dengan yang mana. Peraturan KPU sudah benar,” ujar Mahfud.
"Oleh sebab itu, kalau memang itu mau diterima putusan MA berarti dia membatalkan isi Undang-Undang. Sedangkan menurut hukum kita, menurut konstitusi kita, MA itu tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi Undang-Undang,” katanya melanjutkan.
Baca juga: Tanggapi Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah, Mahfud: Lakukan Saja Mumpung Anda Punya Posisi
Atas dasar itulah, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) ini menyebut bahwa putusan MA tersebut bersifat destruktif.