JAKARTA, KOMPAS.com- Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, amandemen Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mungkin dilakukan pada pemerintahan saat ini karena tidak ada dalam prioritas legislasi tahun 2024.
Meskipun, UU Kementerian Negara masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2019. Tetapi, tidak tertulis akan dilakukan pada 2024.
“Jadi, seharusnya tidak mungkin secepat itu mengubah prioritas (legilasi) tahun ini dulu,” kata Bivitri kepada Kompas.com, Senin (13/5/2024).
Ditambah lagi, menurut dia, banyak politisi yang saat ini lebih memikirkan tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
“Secara teori, tidak boleh presiden membuat kebijakan sepenting ini pada masa lame duck (masa transisi) seperti ini,” ujar Bivitri.
Bivitri juga mengatakan, tidak ada kepentingan negara untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah jumlah kementerian. Apalagi, dikaitkan dengan gagasan menambah jumlah kementerian di era pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Semata-mata ini kepentingan untuk membagi kekuasaan,” katanya.
Dia menyebut, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 juga tidak bisa jadi parameter presiden menerbitkan Perppu tersebut.
Putusan MK itu diketahui menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan memaksa yang menjadi alasan presiden menerbitkan Perppu.
Ketiga hal tersebut adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Lalu, belum adanya UU sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU tidak memadai.
Kemudian, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu cukup lama. Sedangkan keadaan mendesak dan perlu kepastian hukum.
Baca juga: Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya
Namun, Bivitri menyinggung bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Terbukti, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan jelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama.
“ingatkan dulu revisi UU KPK tahun 2019 juga di ujung-ujung (masa pemerintahan) begini, September 2019 dan hanya dalam waktu dua minggu (prosesnya) dan sangat tertutup,” ujarnya.
Oleh karena itu, Bivitri mengatakan, apabila revisi UU Kementerian Negara dilakukan atau Perppu diterbitkan pada periode akhir pemerintahan Jokowi, maka menunjukkan pemerintahan ke depan adalah periode ke-3 Jokowi.
“Kalau perubahan/Perppu (UU Kementerian Negara) dilakukan sekarang juga, benar-benar menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran adalah semacam periode ke-3 Jokowi,” kata Bivitri.
Baca juga: Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup