Demokrasi berasal dari demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Banyak teori soal demokrasi yang diteorikan filsuf barat.
Jika dirunut dalam teks konstitusi tidak ada diksi “demokrasi”. Yang ada hanyalah demokrasi dalam kata sifat, demokratis.
Dalam pasal 18 ayat 4 ditulis, “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah, provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara “demokratis”.
Sedang dalam pasal 44 ayat 4 ditulis, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional."
“Dipilih secara demokratis” dan “demokrasi ekonomi”. Dua frase dalam konstitusi itulah yang menggunakan kata demokratis dan demokrasi dalam konstitusi.
Lalu, apa itu demokrasi? Lalu, apa itu oposisi? Apa itu koalisi?
Dalam perkembangan politik kontemporer bangsa ini kerap meributkan istilah yang mungkin dipahami secara berbeda-beda pula sebagaimana istilah jangan pilih menteri toxic yang disarankan Luhut Panjaitan kepada calon presiden terpilih Prabowo Subianto.
Orang meributkan istilah toxic dan publik larut di dalamnya. Sedang di pengadilan korupsi, orang terbelalak mendengarkan kesaksian bagaimana uang negara di Kementerian Pertanian dijadikan bancakan keluarga bekas Mentan Syahrul Yasin Limpo. Tontonan yang menyakitkan.
Kembali kepada kehendak politik Ganjar dan Mahfud untuk berada di luar pemerintahan, langkah yang tepat. Tepat dari sisi moralitas politik dan tepat pula dalam sistem politik demokrasi yang membutuhkan check and balances.
Akan lebih baik jika partai-partai politik yang selama ini menyuarakan perubahan: tetap berada di luar pemerintahan, membersamai masyarakat sipil untuk mengawasi potensi penyimpangan.
Menjadi fakta politik, pendapat elite politik di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh di mana dia berada. Apakah dia menikmati kue kekuasaan atau tidak.
Jejak digital bisa merekam betapa tidak konsistennya elite politik itu. Ketika belum mendapat kue kekuasaan, mereka gencar mengkritik. Tapi ketika kue sudah digenggam dan dinikmati, mereka gencar memuja.
Kondisi itu sejalan dengan pepatah lama, Honoris mutant mores. Saat manusia berkuasa, berubah pula tingkah lakunya.
Ganjar, Mahfud dan siapa tahu Anies Baswedan, bisa bersama-sama memperkuat masyarakat sipil untuk mengoreksi banyak hal.
Untuk menghidupkan kembali suara berbeda di Hakim Konstitusi, Saldi Isra, Arif Hidayat dan Enny Nurbaningsih yang kian tenggelam dalam isu bagi-bagi kursi menteri.