Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Budiman Tanuredjo
Wartawan Senior

Wartawan

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Kompas.com - 11/05/2024, 08:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANTAN calon Presiden Ganjar Pranowo mendeklarasikan dirinya akan berada di luar pemerintahan mendatang. Begitu juga halnya dengan mantan calon Wakil Presiden Mahfud MD yang juga menegaskan posisi politiknya berada di luar pemerintahan.

Pada saat acara pembubaran Tim Pemenangan Nasional, Senin (6/5/2024), Ganjar mengatakan, “Kita tidak akan pernah berhenti untuk mencintai republik ini. Kita akan mengawal dengan benar dan saya declare pertama, saya tidak akan bergabung di pemerintahan ini,” kata Ganjar.

Posisi politik Ganjar diamini Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto yang mengatakan, “aspirasi di luar pemerintahan itu in line dengan sikap PDIP.”

Namun, elite PDIP yang lain, Hendrawan Supratikno mengatakan, “pernyataan Ganjar bukan sikap resmi PDIP.”

Tampaknya memang ada kegamangan di dalam tubuh PDIP. Ada satu faksi ingin bergabung di dalam pemerintahan karena memang ada godaan pemenang pemilu membujuk PDIP masuk dalam pemerintahan.

Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD bisa jadi alat tawar. Revisi UU MD3 bisa saja “menghilangkan” kursi Ketua DPR yang oleh UU MD3 – jika tak direvisi – menjadi hak partai politik pemenang pemilu.

Namun, faksi lain menghendaki PDIP berada di luar pemerintahan. Aspirasi PDIP berada di luar pemerintah lebih masuk akal karena sejalan dengan moralitas dan prinsip dalam berpolitik.

Berada di luar pemerintahan juga sejalan dengan aspirasi sekitar 27 juta pemilih Ganjar-Mahfud. Putusan PDIP masih akan ditentukan oleh Rakornas PDIP pada akhir Mei 2024.

Sangatlah tidak elok dan melanggar etika politik, seandainya Ganjar dan Mahfud masuk dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming kelak.

Padahal, dalam masa kampanye, publik melihat bagaimana terjadi proses delegitimasi habis-habisan terhadap masing-masing calon.

Ketika kemudian keduanya masuk dalam pemerintahan, sama saja dengan mengabaikan suara rakyat yang telah memilihnya.

Sikap “oposisi” yang disampaikan Ganjar sontak menimbulkan polemik soal pemahaman “oposisi”. Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, di Indonesia tidak dikenal istilah “oposisi”.

Pernyataan Ketua MPR bahwa di Indonesia tidak dikenal istilah oposisi benar adanya. Dalam konstitusi yang menjadi kontrak sosial bangsa, memang tidak ada diksi “oposisi” maupun “koalisi”.

Kedua istilah itu hanya dikenal di sistem pemerintahan parlementer. Namun dalam praktik politiknya, muncul Koalisi Indonesia Maju, Koalisi Perubahan. Dahulu, ada Koalisi Merah Putih, Koalisi Kerakyatan, Koalisi Kebangsaan.

Sama halnya diksi demokrasi yang ramai diperdebatkan. Entah definisi demokrasi mana yang dipakai dalam diskusi.

Demokrasi berasal dari demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Banyak teori soal demokrasi yang diteorikan filsuf barat.

Jika dirunut dalam teks konstitusi tidak ada diksi “demokrasi”. Yang ada hanyalah demokrasi dalam kata sifat, demokratis.

Dalam pasal 18 ayat 4 ditulis, “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah, provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara “demokratis”.

Sedang dalam pasal 44 ayat 4 ditulis, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional."

“Dipilih secara demokratis” dan “demokrasi ekonomi”. Dua frase dalam konstitusi itulah yang menggunakan kata demokratis dan demokrasi dalam konstitusi.

Lalu, apa itu demokrasi? Lalu, apa itu oposisi? Apa itu koalisi?

Dalam perkembangan politik kontemporer bangsa ini kerap meributkan istilah yang mungkin dipahami secara berbeda-beda pula sebagaimana istilah jangan pilih menteri toxic yang disarankan Luhut Panjaitan kepada calon presiden terpilih Prabowo Subianto.

Orang meributkan istilah toxic dan publik larut di dalamnya. Sedang di pengadilan korupsi, orang terbelalak mendengarkan kesaksian bagaimana uang negara di Kementerian Pertanian dijadikan bancakan keluarga bekas Mentan Syahrul Yasin Limpo. Tontonan yang menyakitkan.

Kembali kepada kehendak politik Ganjar dan Mahfud untuk berada di luar pemerintahan, langkah yang tepat. Tepat dari sisi moralitas politik dan tepat pula dalam sistem politik demokrasi yang membutuhkan check and balances.

Akan lebih baik jika partai-partai politik yang selama ini menyuarakan perubahan: tetap berada di luar pemerintahan, membersamai masyarakat sipil untuk mengawasi potensi penyimpangan.

Menjadi fakta politik, pendapat elite politik di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh di mana dia berada. Apakah dia menikmati kue kekuasaan atau tidak.

Jejak digital bisa merekam betapa tidak konsistennya elite politik itu. Ketika belum mendapat kue kekuasaan, mereka gencar mengkritik. Tapi ketika kue sudah digenggam dan dinikmati, mereka gencar memuja.

Kondisi itu sejalan dengan pepatah lama, Honoris mutant mores. Saat manusia berkuasa, berubah pula tingkah lakunya.

Ganjar, Mahfud dan siapa tahu Anies Baswedan, bisa bersama-sama memperkuat masyarakat sipil untuk mengoreksi banyak hal.

Untuk menghidupkan kembali suara berbeda di Hakim Konstitusi, Saldi Isra, Arif Hidayat dan Enny Nurbaningsih yang kian tenggelam dalam isu bagi-bagi kursi menteri.

Perilaku penyimpangan dalam pemilu 2024 jangan sampai di-copy paste untuk kepentingan Pilkada. Butuh kawalan masyarakat sipil.

Ganjar, Mahfud dan siapa tahu Anies Baswedan bisa mengkritisi perilaku korupsi ugal-ugalan seperti yang dilakukan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Dana negara digunakan untuk kepentingan domestik sampai membiayai sunatan cucu dan perawatan wajah anak dan cucu. Dan, DPR diam saja. Partai politik juga diam saja.

Suara-suara masyarakat sipil yang sepi perlu digaungkan lebih keras lagi untuk memastikan Indonesia adalah negara hukum yang punya etika dalam kehidupan berbangsa. Rule of law, bukan rule by law. Bukan hanya rule of law, tapi juga rule of ethics.

Memperkuat masyarakat sipil menjadi keniscayaan karena sudah menjadi karakter kekuasaan menjadi tumpul ketika madu kekuasaan sudah di depan mata. Pada saat demikian, mereka pun lupa terhadap janji-janjinya pada rakyat.

Mengambil posisi berada di luar kekuasaan, janganlah diartikan akan mengganggu jalannya pemerintahan.

Berada di luar kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar pemerintah tetap setia pada konstitusi negara, agar pemerintah tidak terjerumus pada korupsi, kolusi dan nepotisme karena kekuasaan itu bisa membuat penguasa terlena.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Luncurkan 'Gerbang Biru Ciliwung' untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Pertamina Luncurkan "Gerbang Biru Ciliwung" untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Nasional
Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Nasional
Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Nasional
Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Nasional
Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan 'Bargain'

Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan "Bargain"

Nasional
Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Nasional
KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

Nasional
Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Nasional
Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Nasional
Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Nasional
Kontroversi Usulan Bansos untuk 'Korban' Judi Online

Kontroversi Usulan Bansos untuk "Korban" Judi Online

Nasional
Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Nasional
MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

Nasional
Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Nasional
MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com