Meskipun setelah keluar putusan itu, protes kepada MK terjadi secara meluas dan adanya laporan etik terhadap seluruh hakim MK, namun putusan MK sudah dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum dan sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai salah satu pelapor dalam sidang etik di majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), saya ikut aktif menantang putusan 90 itu.
Namun, saya mengerti bahwa laporan terhadap tiga hakim yang setuju tanpa disentting opinion dan yang tidak menyampaikan concurring opinion itu hanya sebatas persoalan etik, meskipun terbukti dan diputus bersalah secara etik dan bahkan kami meminta putusan MK 90 itu dibatalkan oleh MKMK, namun MKMK menilai tidak berwenang membatalkan keputusan MK.
Sampai di situ urusan pencalonan Gibran hanya berdampak pada persoalan etik, tidak menyangkut persoalan keabsahan pencalonan.
Meskipun KPU juga dianggap melakukan pelanggaran etik dalam pencalonan tersebut, DKPP juga hanya menilai secara etik, tidak menyangkut masalah prosedur pencalonan berdasarkan norma persyaratan pencalonan, melainkan tindakan penyelenggara pemilu (KPU) dalam proses pendaftaran paslon.
Kalau kita lihat semua proses tahapan pemilu, tentu sudah dilewati dengan mekanisme dan ketentuan Undang-Undang.
Adapun pelanggaran yang terjadi sepanjang proses itu telah diselesaikan dalam setiap tahapan dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku sesuai dengan ketentuan UU Pemilu dan peraturan turunannya, yaitu PKPU maupun Perbawaslu.
Sekarang yang dipersoalkan adalah hasil pemilu yang diperoleh setelah melewati proses itu. Hasilnya adalah berupa tahapan rekapitulasi berjenjang.
Atau kalau misalnya ingin lebih maju lagi, yaitu tahap pencoblosan, adanya tindakan penyelenggara yang menguntungkan calon tertentu yang dapat mengubah hasil pemilu dan tidak diselesaikan di tingkat tersebut.
Di titik ini para pemohon harus lebih teliti dan lebih terbuka melihat bahwa dalam semua tahap, mulai dari pencoblosan hingga tahap rekapitulasi dari tingkat kecamatan hingga pusat, setidaknya ditemukan pelanggaran, baik itu administratif, maupun pelanggaran Pidana pemilu sehingga rekapitulasi merugikan sebagian kontestan pemilu.
Dalam tahap ini bisa saja terdapat pelanggaran yang secara sengaja tidak diselesaikan oleh penyelenggara pemilu, baik oleh KPU, Bawaslu maupun di Sentra Gakkumdu.
Hal ini, menurut hemat saya, dapat dinilai oleh Mahkamah sebagai pembiaraan terhadap kecurangan hingga merugikan calon tertentu dan menguntungkan calon lainnya.
Tahap ini masuk dalam tahap sengketa hasil dan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.
Masalah ini juga adalah masalah angka yang memengaruhi hasil. Jadi kalau MK tidak menggunakan logika angka untuk menilai hasil tersebut, lalu bagaimana MK dapat menilai sengketa Pilpres?
PHPU tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma, yang mengharus MK untuk mencari dan menemukan hukum.
MK dalam sengketa Pilpres adalah mencari dan menemukan keadilan. Keadilan dalam PHPU adalah keadilan matematis. Keadilan matematis adalah keadilan yang pasti dan tepat, bukan asumsi.
Karena itu, menuntut MK, untuk menegakkan konstitusionalitas pemilu agak sulit. Karena kata pemilu dan pelaksanaan pemilu adalah perintah konstitusi tidak perlu lagi dicari konstitusionalitasnya.
Yang perlu dituntut pada Mahkamah adalah menegakkan keadilan matematis dengan menggunakan prinsip kepastian dan ketepatan.