Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Salahkah MK Menegakkan Keadilan Matematis?

Kompas.com - 06/04/2024, 07:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KALIMATMahkamah Konstitusi bukan Mahkamah Kalkulator” sering muncul saat perdebatan mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah.

Kalimat itu pertama kali digunakan bersamaan oleh dua orang, yaitu Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Dr. margarito Kamis saat sengketa Pilpres 2014 ketika menjadi Ahli Prabowo-Hatta di MK. Kemudian menjadi populer pada Pilpres 2019 dan 2024.

Apa dasar argumentasi sehingga Mahkamah meninggalkan angka-angka dan berani melakukan semacam “judicial activism” untuk menemukan kebenaran substantif (kebenaran materil) dan tidak terpaku pada kebenaran prosedural (kebenaran formil) dalam perkara PHPU.

Dasar dari istilah itu, saya dapatkan penjelasan lebih detailnya ketika berdiskusi dengan Dr. Margarito Kamis.

Pakar Hukum Tata Negara ini menyebutkan bahwa istilah “Mahkamah Konstitusi bukan Mahkamah Kalkulator” muncul karena pada saat itu belum jelas ketentuan formil mengenai penanganan pelanggaran pemilu.

Sebelum UU 7 Tahun 2017 memang kekaburan kewenangan masih meliputi penyelenggara pemilu, dan status hukum Bawaslu (khususnya Kab/Kota) belum menjadi badan, melainkan hanya sebatas Panitia Pengawas Pemilu (ad hoc).

Karena itu, tentu pengawasan Pemilu tidak optimal, dan belum ada ketentuan penyelesaian sengketa administratif dan pidana pemilu di Sentra Penegakan Hukum Pemilu (Gakkumdu) dan belum ada ketentuan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan TUN maupun Mahkamah Agung.

Berdasarkan itu, Mahkamah diminta pada saat itu untuk mengoreksi proses dan hasil pemilu atas dasar bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu belum memiliki mekanisme detail penyelesaian sengketa.

Namun, setelah UU 7 Tahun 2017 diberlakukan ketentuan mengenai pemilu, baik pemilihan legislatif maupun Presiden serta tugas, kewajiban, kewenangan penyelenggara Pemilu diatur dengan jelas untuk KPU, Bawaslu, DKPP. Keterlibatan penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan diatur sedemikian rinci.

Sehingga penyelesaian proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu dilakukan secara berjenjang dengan mekanisme yang jelas.

Itulah kenapa istilah Mahkamah Kalkulator tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar argumentasi untuk dalil permohonan agar MK memutus PHPU di luar dari hasil pemilu.

Pun kalau misalnya tetap dijadikan dasar bagi para Pemohon, toh, pendapat Prof. Yusril maupun Dr. Margarito ditolak oleh Mahkamah pada sidang 2014.

Menegakkan keadilan matematis

Sengketa Pilpres tentu berkaitan dengan angka-angka, karena perolehan suara dijadikan dasar pertimbangan bagi MK untuk menilai adanya kecurangan dalam proses Pilpres.

Item apapun yang ditarik dalam sengketa Pilpres seperti “tuduhan” penyalahgunaan bantuan sosial, penggunaan aparat negara, penyalahgunaan wewenang maupun keterlibatan penyelenggara pemilu dalam memenangkan pasangan calon tertentu, tetap yang dipersoalkan adalah perolehan suara.

Dalam PHPU Pilpres 2024 terdapat pokok permohonan yang baru, yaitu permohonan pembatalan Capres dan Cawapres Nomor urut 02.

Pembatalan itu berkaitan dengan adanya dugaan terjadinya pelanggaran administrasi pencalonan Gibran Rakabuming.

Hanya ini yang baru dalam permohonan PHPU, selebihnya adalah isu lama yang pernah diajukan oleh Prabowo melawan Jokowi pada Pilpres 2014 maupun 2019.

Apakah pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024 memang cacat administrasi? Secara hukum pencalonan Gibran berdasarkan pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyebutkan bahwa Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Meskipun setelah keluar putusan itu, protes kepada MK terjadi secara meluas dan adanya laporan etik terhadap seluruh hakim MK, namun putusan MK sudah dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum dan sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebagai salah satu pelapor dalam sidang etik di majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), saya ikut aktif menantang putusan 90 itu.

Namun, saya mengerti bahwa laporan terhadap tiga hakim yang setuju tanpa disentting opinion dan yang tidak menyampaikan concurring opinion itu hanya sebatas persoalan etik, meskipun terbukti dan diputus bersalah secara etik dan bahkan kami meminta putusan MK 90 itu dibatalkan oleh MKMK, namun MKMK menilai tidak berwenang membatalkan keputusan MK.

Sampai di situ urusan pencalonan Gibran hanya berdampak pada persoalan etik, tidak menyangkut persoalan keabsahan pencalonan.

Meskipun KPU juga dianggap melakukan pelanggaran etik dalam pencalonan tersebut, DKPP juga hanya menilai secara etik, tidak menyangkut masalah prosedur pencalonan berdasarkan norma persyaratan pencalonan, melainkan tindakan penyelenggara pemilu (KPU) dalam proses pendaftaran paslon.

Kalau kita lihat semua proses tahapan pemilu, tentu sudah dilewati dengan mekanisme dan ketentuan Undang-Undang.

Adapun pelanggaran yang terjadi sepanjang proses itu telah diselesaikan dalam setiap tahapan dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku sesuai dengan ketentuan UU Pemilu dan peraturan turunannya, yaitu PKPU maupun Perbawaslu.

Sekarang yang dipersoalkan adalah hasil pemilu yang diperoleh setelah melewati proses itu. Hasilnya adalah berupa tahapan rekapitulasi berjenjang.

Atau kalau misalnya ingin lebih maju lagi, yaitu tahap pencoblosan, adanya tindakan penyelenggara yang menguntungkan calon tertentu yang dapat mengubah hasil pemilu dan tidak diselesaikan di tingkat tersebut.

Di titik ini para pemohon harus lebih teliti dan lebih terbuka melihat bahwa dalam semua tahap, mulai dari pencoblosan hingga tahap rekapitulasi dari tingkat kecamatan hingga pusat, setidaknya ditemukan pelanggaran, baik itu administratif, maupun pelanggaran Pidana pemilu sehingga rekapitulasi merugikan sebagian kontestan pemilu.

Dalam tahap ini bisa saja terdapat pelanggaran yang secara sengaja tidak diselesaikan oleh penyelenggara pemilu, baik oleh KPU, Bawaslu maupun di Sentra Gakkumdu.

Hal ini, menurut hemat saya, dapat dinilai oleh Mahkamah sebagai pembiaraan terhadap kecurangan hingga merugikan calon tertentu dan menguntungkan calon lainnya.

Tahap ini masuk dalam tahap sengketa hasil dan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.

Masalah ini juga adalah masalah angka yang memengaruhi hasil. Jadi kalau MK tidak menggunakan logika angka untuk menilai hasil tersebut, lalu bagaimana MK dapat menilai sengketa Pilpres?

PHPU tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma, yang mengharus MK untuk mencari dan menemukan hukum.

MK dalam sengketa Pilpres adalah mencari dan menemukan keadilan. Keadilan dalam PHPU adalah keadilan matematis. Keadilan matematis adalah keadilan yang pasti dan tepat, bukan asumsi.

Karena itu, menuntut MK, untuk menegakkan konstitusionalitas pemilu agak sulit. Karena kata pemilu dan pelaksanaan pemilu adalah perintah konstitusi tidak perlu lagi dicari konstitusionalitasnya.

Yang perlu dituntut pada Mahkamah adalah menegakkan keadilan matematis dengan menggunakan prinsip kepastian dan ketepatan.

Kalau hasil pemilu itu dirasa tidak tepat, maka minta MK untuk menghadirkan keadilan matematis dan memberikan kepastian bagi semua pihak agar mendapatkan keadilan yang substantif.

Mahkamah Kalkulator Vs Keadilan Matematis

Menuntut Mahkamah untuk menilai PHPU dari segi konstitusionalitas, terlalu jauh dan tidak mendasar. Karena dalam sengketa PHPU, Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma, melainkan menguji hasil pemilu dan hasil itu menimbulkan kerugian bagi kontestan pemilu.

Mendesak Mahkamah untuk tidak melihat angka yang berdasarkan hasil perolehan suara secara kalkulator agak berlebihan, sementara yang dipersoalkan adalah perolehan suara dari hasil penjumlahan angka.

Tuntutan atau desakan semacam itu tidak menggoyahkan Mahkamah untuk tetap menilai hasil.

Melihat perbedaan perolehan suara dari ketiga pasangan calon tentu akan sulit bagi Mahkamah mengabulkan permohonan pemungutan suara ulang.

Kalau potensi PSU terjadi, apakah PSU itu dapat mengubah hasil? Kecuali kalau MK menyatakan telah terjadi pelanggaran di seluruh TPS di seluruh Indonesia atau setidak-tidaknya di 36 provinsi yang dimenangi oleh Prabowo-Gibran.

Namun apa dasar bagi Mahkamah untuk menyatakan terjadi pelanggaran di seluruh TPS di seluruh Indonesia? Kalau menurut ketentuan Pasal 372 UU Pemilu setidaknya terjadi beberapa hal, yaitu: adanya bencana alam atau kerusuhan yang menyebabkan hasil perhitungan suara dan surat suara tidak dapat digunakan.

Menurut ketentuan ayat (2) pasal a quo, PSU wajib dilaksakan apabila:

  1. Pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan; 
  3. Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau;
  4. Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.

Dengan catatan, ketentuan di atas tidak ditangani dan diselesaikan oleh Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) di tiap tingkatan. Kalau terjadi pembiaraan tentu beralasan menurut hukum.

Namun, apakah terdapat bukti penyelenggara pemilu membiarkan terjadi pelanggaran tersebut? Kenapa pula kontestan pemilu tidak mempersoalkan di tiap tahapan?

Kalau dipersoalkan dan tidak ditangani oleh Bawaslu maupun di sentra Gakkumdu, hal ini dapat menjadi dalil bagi MK untuk membatalkan hasil pemilu.

Semua prosedur itulah yang menjadi alasan hukum bagi MK untuk mempertimbangkan putusan sengketa hasil pilpres.

Kalau melihat selisih capaian suara tentu permohonan tersebut ditolak, artinya tidak memenuhi ketentuan syarat selisih perolehan suara yang dapat dipersoalkan di MK.

Karena kalau semua tahap dan proses tidak gunakan oleh para pemohon, konsekuensi hukumnya, kata Margarto Kamis, pemohon menerima seluruh rangkaian proses. Dengan demikian, proses tersebut menjadi sah secara yuridis formal.

Artinya sengketa hasil tetap menggunakan angka-angka (kalkulator), dan angka itu akan digunakan untuk menegakkan keadilan secara matematis, baik untuk mewujudkan kepastian, kesesuaian dan ketepatan perolehan hasil dengan proses pemilu.

Kalau semua berkesesuaian antara proses dan hasil, maka bagi saya, tidak ada alasan bagi MK untuk membatalkan hasil Pilpres.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com