Kalau hasil pemilu itu dirasa tidak tepat, maka minta MK untuk menghadirkan keadilan matematis dan memberikan kepastian bagi semua pihak agar mendapatkan keadilan yang substantif.
Menuntut Mahkamah untuk menilai PHPU dari segi konstitusionalitas, terlalu jauh dan tidak mendasar. Karena dalam sengketa PHPU, Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma, melainkan menguji hasil pemilu dan hasil itu menimbulkan kerugian bagi kontestan pemilu.
Mendesak Mahkamah untuk tidak melihat angka yang berdasarkan hasil perolehan suara secara kalkulator agak berlebihan, sementara yang dipersoalkan adalah perolehan suara dari hasil penjumlahan angka.
Tuntutan atau desakan semacam itu tidak menggoyahkan Mahkamah untuk tetap menilai hasil.
Melihat perbedaan perolehan suara dari ketiga pasangan calon tentu akan sulit bagi Mahkamah mengabulkan permohonan pemungutan suara ulang.
Kalau potensi PSU terjadi, apakah PSU itu dapat mengubah hasil? Kecuali kalau MK menyatakan telah terjadi pelanggaran di seluruh TPS di seluruh Indonesia atau setidak-tidaknya di 36 provinsi yang dimenangi oleh Prabowo-Gibran.
Namun apa dasar bagi Mahkamah untuk menyatakan terjadi pelanggaran di seluruh TPS di seluruh Indonesia? Kalau menurut ketentuan Pasal 372 UU Pemilu setidaknya terjadi beberapa hal, yaitu: adanya bencana alam atau kerusuhan yang menyebabkan hasil perhitungan suara dan surat suara tidak dapat digunakan.
Menurut ketentuan ayat (2) pasal a quo, PSU wajib dilaksakan apabila:
Dengan catatan, ketentuan di atas tidak ditangani dan diselesaikan oleh Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) di tiap tingkatan. Kalau terjadi pembiaraan tentu beralasan menurut hukum.
Namun, apakah terdapat bukti penyelenggara pemilu membiarkan terjadi pelanggaran tersebut? Kenapa pula kontestan pemilu tidak mempersoalkan di tiap tahapan?
Kalau dipersoalkan dan tidak ditangani oleh Bawaslu maupun di sentra Gakkumdu, hal ini dapat menjadi dalil bagi MK untuk membatalkan hasil pemilu.
Semua prosedur itulah yang menjadi alasan hukum bagi MK untuk mempertimbangkan putusan sengketa hasil pilpres.
Kalau melihat selisih capaian suara tentu permohonan tersebut ditolak, artinya tidak memenuhi ketentuan syarat selisih perolehan suara yang dapat dipersoalkan di MK.
Karena kalau semua tahap dan proses tidak gunakan oleh para pemohon, konsekuensi hukumnya, kata Margarto Kamis, pemohon menerima seluruh rangkaian proses. Dengan demikian, proses tersebut menjadi sah secara yuridis formal.
Artinya sengketa hasil tetap menggunakan angka-angka (kalkulator), dan angka itu akan digunakan untuk menegakkan keadilan secara matematis, baik untuk mewujudkan kepastian, kesesuaian dan ketepatan perolehan hasil dengan proses pemilu.
Kalau semua berkesesuaian antara proses dan hasil, maka bagi saya, tidak ada alasan bagi MK untuk membatalkan hasil Pilpres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.