Kedua; penyelenggara pemilu tidak netral, tidak independen, tidak profesional. Ketiga, politisasi bansos oleh Presiden Jokowi dan paslon 02.
Keempat, pengerahan aparat negara hingga kepala desa. Kelima, penggunaan kekuasaan oleh Presiden Jokowi untuk memenangkan paslon 02. Keenam, pengerahan TNI-Polri untuk mengintimidasi masyarakat agar memilih 02.
Kalau membaca sekilas posita para pemohon kepada paslon 02 dengan keterlibatan aparat negara, pembagian bansos dan pengerahan TNI-Polri, rasa-rasanya MK akan memutus bahwa Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran hukum dan dengan demikian apakah akan berakibat pada perolehan suara (kemenangan) Prabowo-Gibran?
Namun kalau dugaan tentang KPU dan Bawaslu yang tidak independen, tidak netral dan tidak profesional dapat dibuktikan, maka dapat menjadi alasan bagi MK untuk mengabulkan petitum para pemohon.
Kalau membaca pola pelanggaran administrasi pemilu TSM dari putusan-putusan MK yang memengaruhi putusan sengketa hasil pemilu, tentu dalil dalam uraian para pemohon dapat diklasifikasi sebagai pelanggaran TSM.
Sebab dari yurisprudensi MK dalam menangani sengketa pemilihan kepala daerah, dapat kita baca, pelanggaran itu dapat diklasifikasi TSM apabila pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang/by design (sistematis); pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilu secara kolektif, bukan aksi individual (terstruktur); pelanggaran itu berdampak sangat luas dan bukan sporadis (masif).
Misalnya, MK pernah memutus perselisihan hasil Pilkada dengan mendiskualifikasi calon Bupati Kabupaten Yalimo Erdi Dabi yang tidak memenuhi syarat karena diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun.
Begitu juga ketika MK mendiskualifikasi calon Bupati Sabu Raijua karena masalah kewarganegaraan. Kemudian perselisihan hasil Pilkada Boven Digul, MK mendiskualifikasi calon karena tidak memenuhi syarat.
Semua perkara tersebut diadili setelah berlakunya UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Apakah mungkin pencalonan Prabowo-Gibran dapat dibatalkan karena alasan tidak memenuhi syarat?
Kalau merujuk pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023) yang diputus sebelum pencalonan Gibran, tentu sah menurut hukum. Putusan MK berlaku seketika, ketika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Namun, perdebatan kemudian muncul, bukankah pendaftaran Prabowo-Gibran dilakukan sebelum adanya perubahan aturan pelaksana dari KPU (PKPU)? Pintu ini menjadi perdebatan hingga sidang MK yang berlangsung sekarang ini.
MK juga pernah memutus sengketa Pilkada Jawa Timur pada 2008 dengan membatalkan keputusan KPU Jawa Timur tentang rekapitulasi hasil perhitungan suara sepanjang itu mengenai hasil rekapitulasi hasil di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pamekasan, karena ditemukan bukti terjadi pelanggaran administrasi TSM dalam proses pemilu hingga rekapitulasi di tiga kabupaten tersebut.
Namun yang diperhatikan, bahwa tahun 2022, MK mengeluarkan putusan Nomor 85/PUU-XX/2022, MK mengubah pandangannya dengan tidak lagi membedakan antara rezim Pemilu dan rezim Pilkada, sehingga dalam putusannya MK berwenang untuk memutus perselisihan hasil
tentang Pilkada secara permanen.
Apakah menyamakan kembali Pilkada dengan Pemilu nasional ke dalam rezim pemilu oleh MK dapat memengaruhi persepsi MK dalam memutus PHPU Pilpres 2024? Ini yang kita tunggu.
Namun secara konstitusional, pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum adalah dua rezim pemilihan yang berbeda.
Pemilu diatur dalam Pasal 22E, sementara pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 18 ayat (4) yang berbeda dengan pemilu.
Perbedaan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.
Artinya DPRD dipilih melalui pemilihan umum yang 5 (lima) tahun sekali itu.