Salin Artikel

Membuktikan Kecurangan TSM dalam Sengketa Pilpres

Persidangan belum memasuki wilayah paling mendasar, berupa bukti-bukti konkret, untuk dijadikan alasan bagi MK memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran dan tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Meskipun berdebatannya cukup bagus, namun MK tidak berpaku pada argumentasi, seindah apapun itu. Kalau tidak memiliki hubungan dengan bukti-bukti, tentu argumentasi itu akan tertolak dengan sendirinya.

Begitupun dengan bukti kecurangan kalau tidak memiliki dukungan dari kesaksian, atau bahkan tidak memengaruhi hasil, akan dikesampingkan oleh Majelis.

Kebiasaan PHPU seperti itu sudah dipraktikkan oleh MK sejak mulai menangani hasil pemilu. Bagi pihak yang kalah, tidak ada saluran lain untuk mempersoalkan hasil pemilu kecuali di MK sebagai lembaga yang diamanatkan oleh konstitusi untuk memutus sengketa hasil Pemilihan Umum (lihat ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945).

Tugas MK menyelesaikan proses sengketa tersedia hanya dalam waktu 14 hari. MK dapat menilai sengketa hasil Pemilu atau PHPU dengan bukti dan fakta yang ada dipersidangan dalam waktu yang singkat itu.

Bukti dan fakta tersebut harus didasarkan adanya pelanggaran atau tindakan yang berpotensi memengaruhi hasil perolehan suara, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, diperkenalkanlah jenis pelanggaran yang dapat memengaruhi hasil pemilu tersebut, yaitu pelanggaran administratif sebagaimana dalam ketentuan Pasal 460 UU Pemilu.

Pelanggaran administratif pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

Dalam Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2022 tidak hanya dikenal pelanggaran administrasi pemilu biasa, tetapi juga pelanggaran administrasi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Norma tersebut dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 33 Perbawaslu a quo yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran administratif pemilu TSM adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu, dan/atau pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Dijabarkan pula bahwa pelanggaran administratif TSM, yaitu: Pertama, perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan dengan administrasi pemilu.

Kedua, perbuatan atau tindakan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih yang terjadi secara TSM.

Pelanggaran TSM tersebut meliputi: (1) kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah atau penyelenggara pemilu secara kolektif atau secara bersama-sama; (2) pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, dan sangat rapi; dan (3) dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu bukan hanya sebagian.

Kalau terdapat bukti pelanggaran administratif yang bersifat TSM dan dapat mengubah hasil perolehan suara peserta pemilu, Bawaslu dalam pasal 12 Perbawaslu a quo dapat menyampaikan keterangan tertulis kepada MK.

Apakah Bawaslu menemukan adanya pelanggaran administrasi TSM? Sejauh ini dalam persidangan di MK belum ada.

Mekanisme inilah yang akan ditempuh dalam sidang sengketa PHPU yang nantinya akan mengungkapkan apakah dalil para pemohon (01 dan 03) dapat dibuktikan dengan fakta-fakta bahwa telah terjadi pelanggaran TSM dalam rangkaian proses pemilu hingga rekapitulasi akhir di KPU, atau justru sebaliknya pelanggaran TSM itu hanya sekadar asumsi belaka.

Apa bukti para Pemohon mendalilkan telah terjadi pelanggaran TSM sehingga memengaruhi hasil Pilpres 2024?

Secara umum para pemohon mendalilkan beberapa hal, yaitu: pertama, pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo melanggar syarat administratif pencalonan presiden dan wakil presiden.

Kedua; penyelenggara pemilu tidak netral, tidak independen, tidak profesional. Ketiga, politisasi bansos oleh Presiden Jokowi dan paslon 02.

Keempat, pengerahan aparat negara hingga kepala desa. Kelima, penggunaan kekuasaan oleh Presiden Jokowi untuk memenangkan paslon 02. Keenam, pengerahan TNI-Polri untuk mengintimidasi masyarakat agar memilih 02.

Kalau membaca sekilas posita para pemohon kepada paslon 02 dengan keterlibatan aparat negara, pembagian bansos dan pengerahan TNI-Polri, rasa-rasanya MK akan memutus bahwa Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran hukum dan dengan demikian apakah akan berakibat pada perolehan suara (kemenangan) Prabowo-Gibran?

Namun kalau dugaan tentang KPU dan Bawaslu yang tidak independen, tidak netral dan tidak profesional dapat dibuktikan, maka dapat menjadi alasan bagi MK untuk mengabulkan petitum para pemohon.

Yurisprudensi pelanggaran administrasi TSM

Kalau membaca pola pelanggaran administrasi pemilu TSM dari putusan-putusan MK yang memengaruhi putusan sengketa hasil pemilu, tentu dalil dalam uraian para pemohon dapat diklasifikasi sebagai pelanggaran TSM.

Sebab dari yurisprudensi MK dalam menangani sengketa pemilihan kepala daerah, dapat kita baca, pelanggaran itu dapat diklasifikasi TSM apabila pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang/by design (sistematis); pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilu secara kolektif, bukan aksi individual (terstruktur); pelanggaran itu berdampak sangat luas dan bukan sporadis (masif).

Misalnya, MK pernah memutus perselisihan hasil Pilkada dengan mendiskualifikasi calon Bupati Kabupaten Yalimo Erdi Dabi yang tidak memenuhi syarat karena diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun.

Begitu juga ketika MK mendiskualifikasi calon Bupati Sabu Raijua karena masalah kewarganegaraan. Kemudian perselisihan hasil Pilkada Boven Digul, MK mendiskualifikasi calon karena tidak memenuhi syarat.

Semua perkara tersebut diadili setelah berlakunya UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Apakah mungkin pencalonan Prabowo-Gibran dapat dibatalkan karena alasan tidak memenuhi syarat?

Kalau merujuk pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023) yang diputus sebelum pencalonan Gibran, tentu sah menurut hukum. Putusan MK berlaku seketika, ketika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Namun, perdebatan kemudian muncul, bukankah pendaftaran Prabowo-Gibran dilakukan sebelum adanya perubahan aturan pelaksana dari KPU (PKPU)? Pintu ini menjadi perdebatan hingga sidang MK yang berlangsung sekarang ini.

MK juga pernah memutus sengketa Pilkada Jawa Timur pada 2008 dengan membatalkan keputusan KPU Jawa Timur tentang rekapitulasi hasil perhitungan suara sepanjang itu mengenai hasil rekapitulasi hasil di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pamekasan, karena ditemukan bukti terjadi pelanggaran administrasi TSM dalam proses pemilu hingga rekapitulasi di tiga kabupaten tersebut.

Namun yang diperhatikan, bahwa tahun 2022, MK mengeluarkan putusan Nomor 85/PUU-XX/2022, MK mengubah pandangannya dengan tidak lagi membedakan antara rezim Pemilu dan rezim Pilkada, sehingga dalam putusannya MK berwenang untuk memutus perselisihan hasil
tentang Pilkada secara permanen.

Apakah menyamakan kembali Pilkada dengan Pemilu nasional ke dalam rezim pemilu oleh MK dapat memengaruhi persepsi MK dalam memutus PHPU Pilpres 2024? Ini yang kita tunggu.

Namun secara konstitusional, pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum adalah dua rezim pemilihan yang berbeda.

Pemilu diatur dalam Pasal 22E, sementara pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 18 ayat (4) yang berbeda dengan pemilu.

Perbedaan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.

Artinya DPRD dipilih melalui pemilihan umum yang 5 (lima) tahun sekali itu.

Sedangkan dalam ayat (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, artinya berbeda dari rezim pemilu.

Pertanyaannya, apakah yurisprudensi hukum MK dalam memutus perkara Pilkada dapat diterapkan ke dalam sengketa Pilpres?

Menurut hemat saya, kalau rezim Pilkada dianalogikan dengan rezim Pemilu tentu secara konstitusional tidak dapat disamakan.

Keduanya memiliki tingkatan berbeda dan konsep pemilihan berbeda, tentu secara hukum tidak dapat dibenarkan menganalogikan dua hal yang jauh berbeda dan tidak sebanding.

Menanti Putusan MK

Semua pihak yang berkepentingan dan para pemerhati politik, hukum, dan kepemiluan sedang menyimak sidang sengketa PHPU di MK.

Apakah akan ada keajaiban atas permohonan yang diajukan oleh 01 dan 03 yang dapat memengaruhi keyakinan hakim untuk membatalkan keputusan KPU tentang Pencalonan Prabowo-Gibran dan membatalkan Keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil pemilihan presiden dan wakil presiden?

Semua tenaga para kuasa hukum dan ahli yang dihadirkan oleh semua pihak terkait dalam PHPU ini mengupayakan untuk memenangkan keyakinan hakim terutama pihak pemohon dan pihak terkait yang memiliki kepentingan dan hubungan langsung dengan perkara.

Kalau kita menelusuri sidang PHPU di MK, tentu kita akan menemukan, dalam sejarah sengketa Pilpres Indonesia, MK selalu berpendirian pada fakta-fakta yang dapat memengaruhi hasil perolehan suara.

Bukan sekadar asumsi, atau masalah konstitusionalitas, karena sengketa pemilu bukan sengketa konstitusionalitas norma, melainkan sengketa administratif yang dapat mengubah hasil pemilu, seperti membatalkan kemenangan atau mendiskualifikasi calon karena pelanggaran.

Kalau misalnya para pemohon dalam PHPU Pilpres mendalilkan terjadi pelanggaran TSM dan meminta diadakan pemungutan suara ulang, dan syarat PSU dilaksanakan apabila terdapat pelanggaran sebagaimana dalam pasal 372 UU 7/2017.

Seandainya ditemukan adanya bukti sebagai syarat dilakukan PSU, tentu tidak seluruh Indonesia, melainkan tempat tertentu yang terbukti terjadi pelanggaran administrasi TSM.

Selain itu, tempat diadakannya pemilihan suara ulang harus dapat mengubah perolehan suara atau setidak-tidaknya menurut pemohon (01) dapat menghasilkan putaran kedua pada Pilpres 2024.

Namun permohonan bukan hanya mengharapkan putaran kedua, tapi diskualifikasi paslon 02.

Pertanyaannya apa sebenarnya yang diminta oleh para pemohon? Diskualifikasi atau pemungutan suara ulang atau diskualifikasi Gibran saja?

Tentu semua dalil yang dimohonkan sudah dibaca dengan teliti oleh pemohon, apakah posita dalam permohonan berkesesuaian dengan petitum yang dimohonkan atau apakah permohonan dengan permintaan yang jelas-jelas memiliki perbedaan secara substansial seperti itu dapat diterima atau tidak oleh MK.

Sambil mengikuti perkembangan, kita menunggu seperti apa hasil sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum di MK berakhir. Mungkinkah ada pemungutan suara ulang atau diskualifikasi paslon, atau mungkin juga dua-duanya akan gagal? Kita tunggu.

https://nasional.kompas.com/read/2024/04/04/08214511/membuktikan-kecurangan-tsm-dalam-sengketa-pilpres

Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke