Sedangkan dalam ayat (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, artinya berbeda dari rezim pemilu.
Pertanyaannya, apakah yurisprudensi hukum MK dalam memutus perkara Pilkada dapat diterapkan ke dalam sengketa Pilpres?
Menurut hemat saya, kalau rezim Pilkada dianalogikan dengan rezim Pemilu tentu secara konstitusional tidak dapat disamakan.
Keduanya memiliki tingkatan berbeda dan konsep pemilihan berbeda, tentu secara hukum tidak dapat dibenarkan menganalogikan dua hal yang jauh berbeda dan tidak sebanding.
Semua pihak yang berkepentingan dan para pemerhati politik, hukum, dan kepemiluan sedang menyimak sidang sengketa PHPU di MK.
Apakah akan ada keajaiban atas permohonan yang diajukan oleh 01 dan 03 yang dapat memengaruhi keyakinan hakim untuk membatalkan keputusan KPU tentang Pencalonan Prabowo-Gibran dan membatalkan Keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil pemilihan presiden dan wakil presiden?
Semua tenaga para kuasa hukum dan ahli yang dihadirkan oleh semua pihak terkait dalam PHPU ini mengupayakan untuk memenangkan keyakinan hakim terutama pihak pemohon dan pihak terkait yang memiliki kepentingan dan hubungan langsung dengan perkara.
Kalau kita menelusuri sidang PHPU di MK, tentu kita akan menemukan, dalam sejarah sengketa Pilpres Indonesia, MK selalu berpendirian pada fakta-fakta yang dapat memengaruhi hasil perolehan suara.
Bukan sekadar asumsi, atau masalah konstitusionalitas, karena sengketa pemilu bukan sengketa konstitusionalitas norma, melainkan sengketa administratif yang dapat mengubah hasil pemilu, seperti membatalkan kemenangan atau mendiskualifikasi calon karena pelanggaran.
Kalau misalnya para pemohon dalam PHPU Pilpres mendalilkan terjadi pelanggaran TSM dan meminta diadakan pemungutan suara ulang, dan syarat PSU dilaksanakan apabila terdapat pelanggaran sebagaimana dalam pasal 372 UU 7/2017.
Seandainya ditemukan adanya bukti sebagai syarat dilakukan PSU, tentu tidak seluruh Indonesia, melainkan tempat tertentu yang terbukti terjadi pelanggaran administrasi TSM.
Selain itu, tempat diadakannya pemilihan suara ulang harus dapat mengubah perolehan suara atau setidak-tidaknya menurut pemohon (01) dapat menghasilkan putaran kedua pada Pilpres 2024.
Namun permohonan bukan hanya mengharapkan putaran kedua, tapi diskualifikasi paslon 02.
Pertanyaannya apa sebenarnya yang diminta oleh para pemohon? Diskualifikasi atau pemungutan suara ulang atau diskualifikasi Gibran saja?
Tentu semua dalil yang dimohonkan sudah dibaca dengan teliti oleh pemohon, apakah posita dalam permohonan berkesesuaian dengan petitum yang dimohonkan atau apakah permohonan dengan permintaan yang jelas-jelas memiliki perbedaan secara substansial seperti itu dapat diterima atau tidak oleh MK.
Sambil mengikuti perkembangan, kita menunggu seperti apa hasil sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum di MK berakhir. Mungkinkah ada pemungutan suara ulang atau diskualifikasi paslon, atau mungkin juga dua-duanya akan gagal? Kita tunggu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.