DALAM jarak waktu 142 hari, Hakim Konstitusi Yang Mulia Anwar Usman kembali divonis melanggar etik.
Vonis pelanggaran etik berat pertama dijatuhkan pada Selasa 7 November 2023. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Prof Dr Jimly Assidhiqie, Wahiddudins Adam, Bintan Saragih menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar etik berat.
Ia dicopot sebagai Ketua MK dan dijadikan hakim non-palu untuk perkara kepemiluan.
Anwar dipersalahkan karena ikut menyidangkan norma hukum soal syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Perkara itu erat kaitannya dengan konflik kepentingan.
Perubahan norma dengan menambahkan klausul, “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.”
Putusan MK yang tidak bulat itu langsung berlaku. Akibat putusan MK itu, Gibran Rakabuming Raka memenuhi syarat untuk menjadi calon wapres bersama Prabowo Subianto. Dan, kemudian memenangkan kontestasi dalam pemilu presiden 14 Februari 2024.
Anwar Usman adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka. Atas putusan MKMK yang mencopotnya sebagai Ketua MK, Anwar melawan.
Ia waktu itu memberikan keterangan pers. Ia merasa menjadi korban skenario pembunuhan karakter dan korban fitnah.
Mengenai adanya dugaan konflik kepentingan, Anwar Usman dalam jumpa pers mengatakan, sejak MK dipimpin Ketua MK Jimly Asshidiqie, Mahfud MD, Hamdan Zoelva, Arief Hidayat sudah ada konflik kepentingan oleh hakim MK dalam pengujian undang-undang.
Anwar pun menggugat ke PTUN dan minta agar posisinya sebagai Ketua MK dipulihkan. Proses di PTUN masih berlangsung. Putusan sela sudah dijatuhkan. Publik masih menunggu putusan final dari PTUN.
Atas perlawanan yang dilakukan Anwar, ia kembali dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang etik pada Kamis 28 Maret 2024, MKMK yang dipimpin I Dewa Palguna, Ridwan Mansyur, Yuliandri kembali memutuskan Anwar Usman melanggar dan diberi teguran tertulis.
Dalam pertimbangannya, Ketua MKMK I Dewa Palguna menjelaskan hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan.
Hakim konstitusi juga harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati.
"Serta bertingkah laku sejalan dengan martabat Mahkamah," kata dia.
Oleh sebab itu, MKMK menilai sikap Anwar Usman yang justru tidak menerima putusan MKMK No 2/MKMK/2023 adalah hal janggal.
"Dalam pandangan Majelis Kehormatan merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kode etik dan perilaku hakim konstitusi," tegasnya.
Artinya dalam jarak waktu 142 hari, Anwar Usman sudah divonis melanggar etik dua kali. Pelanggaran etik berat dan dicopot sebagai Ketua MK serta pelanggaran etik dengan sanksi teguran tertulis.
Bagi seorang hakim konstitusi yang oleh konstitusi diberi atribusi, “Negarawan yang menguasai konstitusi”, vonis pelanggaran etik seharusnya menjadi beban yang amat berat.
Merujuk pada UU MK soal syarat hakim konstitusi, ada syarat berintegritas dan tak tercela. Apakah syarat itu masih terpenuhi?
Meski bukan dikategorikan pelanggaran hukum, pelanggaran etik justru lebih berat bobotnya. Meski dalam masa pancaroba politik sekarang ini, diskursus soal etik justru kerap ditertawakan. Karena etik dianggap tak lagi penting.
Akibatnya vonis-vonis etik hanya sekadar “label politik” tanpa makna apapun. Pelanggaran etik hanya dijadikan bahan guyonan politik. Lembaga etik seperti tak bergigi berhadapan dengan sosok demikian.
Diabaikannya etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, telah membuat negara Orde Baru ambruk. Pengabaian etik pada masa Orde Baru menjadi latar belakang lahirnya Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara tahun 2001.
Dalam etika sosial dan budaya dalam Tap MPR ditulis demikian, “…perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat…”
Dua kata kunci yang patut dicatat adalah “budaya malu” dan “keteladanan” pemimpin formal maupun informal.
Sedang dalam bagian etika politik dan pemerintahan, Ketetapan MPR menulis, “... Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. “
Kata kunci dari panduan MPR itu adalah siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah.”
Tap MPR mengedepankan tiga kata kunci, budaya malu, keteladanan, dan budaya mundur. Selayaknya tiga kata kunci dipertimbangkan Anwar Usman.
Mundur sebagai hakim konstitusi adalah pilihan paling bijak setelah dua vonis pelanggar etik jatuh padanya. Seperti kerap dikatakan Anwar Usman, jabatan adalah milik Tuhan.
Bagaimana Anwar menjawab vonis kedua dari MKMK, masih harus ditunggu. Mau bertahan sampai habis masa jabatannya dan tetap menjadi beban lembaga atau mau mundur sebagai hakim konstitusi, sepenuhnya tergantung pada Anwar Usman.
Namun, buat apa bertahan sebagai hakim konstitusi jika kehadirannya menjadi beban bagi Mahkamah sampai di-pleset-kan menjadi Mahkamah Keluarga.
Namun apapun, hidup adalah pilihan. Tak ada yang bisa memaksa Anwar harus bertahan atau harus mundur. Namun jika ingin menolong Mahkamah, mundur adalah pilihan tepat.
Saya sempat ngobrol dengan jenderal purnawirawan. Ia justru mengirimkan card berisi kutipan Martin Luther King. We need leaders not in love with money but in love with justice. Not in love with publicity but in love with humanity.....
Di negeri ini mungkin rakyatnya yang malu melihat perilaku pemimpinnya...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.