PADA 20 Maret 2024, KPU resmi mengumumkan hasil rekapitulasi Pilpres dan Pemilu 2024. Adapun hasilnya, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2024 dengan perolehan 96.214.691 suara; Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar meraih 40.971.906 suara, dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD meraih 27.040.878 suara.
Pasangan Prabowo-Gibran unggul di 36 provinsi dengan perolehan suara mencapai sekitar 58,6 persen total suara sah nasional.
Dengan demikian, KPU menetapkan pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 satu putaran. Hal ini merujuk pada Pasal 416 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana syarat menang Pilpres satu putaran adalah ketika ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara Pemilu dengan 20 persen suara di setiap provinsi.
Selain Pilpres, KPU juga mengumumkan hasil rekapitulasi nasional perolehan suara Pileg 2024. Dalam Pemilu 2024, suara sah Pileg secara nasional tercatat 151.796.631 suara yang berasal dari 84 daerah pemilihan (dapil) di 38 provinsi dan 128 PPLN.
Berdasarkan hasil rekapitulasi nasional versi KPU, ada delapan partai politik yang meraih suara lebih dari 4 persen, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, PKB, Partai Demokrat, PKS, dan NasDem.
Hasil ini tentu memunculkan berbagai reaksi dari berbagai pihak, baik yang merasa puas maupun kecewa.
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengajukan sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK memiliki waktu 14 hari untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilpres dan Pemilu 2024.
Selain itu, anggota DPR dari partai politik pendukung kedua pasangan calon juga mewacanakan menggulirkan Hak Angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu yang melibatkan penyelenggara negara.
Muncul pro dan kontra di masyarakat merespons rencana gugatan ke MK maupun penggunaan Hak Angket oleh anggota DPR.
Pertanyaannya, apakah masih perlu melakukan gugatan ke MK dengan selisih suara demikian jauh? Dan untuk apa melakukan Hak Angket, bila komposisi partai di parlemen saat ini tidak menguntungkan bagi pasangan 01 dan 03?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan bernada pesimistis seperti di atas, menurut hemat penulis, gugatan ke MK dan Hak Angket tetap perlu dilakukan demi menyelamatkan demokrasi di negara kita.
Pertama, gugatan ke MK akan menjadi pertanggung jawaban pasangan calon 01 dan 03 terhadap suara publik yang diberikan kepada mereka. Pasangan calon dinilai perlu menunjukkan upaya maksimalnya dalam memenangi pemilu.
Begitupun mekansime Hak Angket di DPR, perlu dilakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran penyelenggara negara agar dilakukan sampai ujung. Dan apapun hasilnya nanti, itu akan menjawab berbagai prasangka terkait kecurangan pemilu.
Karena itu, berbagai prasangka kecurangan pada pemilu lalu perlu diuji melalui persidangan di MK, dan juga melalui mekanisme angket di DPR.
Kedua, gugatan ke MK dan penggunaan Hak Angket bukan semata untuk kepentingan pasangan calon yang kalah. Kubu pasangan 02 sebagai pemenang dinilai juga perlu mendorong hal tersebut untuk menetralisasi kecurigaan yang timbul.
Kalau kecurigaan yang ada soal kecurangan tidak pernah terbantahkan, maka pasangan 02 dalam menjalankan kekuasaan pun akan merasa ada hal yang tidak tuntas.
Sepanjang kampanye pilpres dan pemilu ini, sudah banyak lahir isu soal kecurangan pilpres dan pemilu 2024. Isu-isu ini terus berkembang menjadi gosip dan prasangka di tengah publik.
Bila tidak dituntaskan, dikhawatirkan akan melahirkan krisis rasionalitas publik terhadap pemerintahan baru, dan akan berpengaruh pada masalah legitimasi pemenang pilpres dan pemilu.
Maka sebenarnya, yang paling membutuhkan adanya angket dan gugatan MK adalah pasangan 02. Dalam hal ini, gugatan ke MK dan hak angket adalah exhaust politik, atau kanal demokrasi yang harus dibuka.
Bila tidak digunakan, maka isu-isu yang berkembang menjadi prasangka di publik, akan melahirkan krisis rasionalitas di publik.
Menurut Habermas, sistem politik memerlukan pasokan (input) berupa kesetiaan massa seluas mungkin. Produknya berupa keputusan administratif yang ditetapkan dengan tegas.
Krisis produk terjadi dalam bentuk krisis rasionalitas, di mana sistem administratif tidak berhasil mendamaikan dan memenuhi tuntutan yang diterimanya (Jurgen Habermas; 2004).
Dalam kerangka kerja negara demokrasi, langkah dan kebijakan pemerintah memang dituntut untuk selalu bisa dipahami. Sehingga publik dapat memverifikasi dan mengontrol pemerintahan agar tidak mengalami abuse of power.
Keluarnya pemerintah dari koridor kewajaran ini akan dicurigai, sebab sebagaimana Hannah Arent nyatakan “tidak ada kategori legal tradisional, moral, atau akal sehat utilitarian yang dapat membantu kita menyesuaikan diri dengan, atau menilai, atau memprediksi langkah tindakan mereka (pemerintah) selanjutnya.” (Hannah Arent; 1973)
Saat demokrasi sudah menjadi sistem nilai yang disepakati (civic vitue), masyarakat umumnya mengedepankan rasionalitas, dan memiliki standar pemahaman yang sama atas cara kerja pemerintahan (Lucien W. Pye : 1965).
Maka tidak mengherankan bila kebijakan ataupun tindakan yang keluar dari koridor yang dipahami dan disepakati bersama menuai kritik dari publik. Pada tahap selanjutnya, kondisi ini dikhawatirkan berpotensi membawa pemerintahan ke dalam krisis.
Krisis adalah mimpi buruk kekuasaan manapun. Namun, krisis legitimasi adalah problem serius kekuasaan di era modern ini.
Masalah legitimasi dalam masyarakat modern adalah tidak dijaminnya lagi suatu ekuivalensi dan kemapanan dunia karena perpecahan antara kekuasaan, pengetahuan, dan hukum. Akibatnya, tidak ada hukum yang dapat dipastikan atau dijadikan sebagai acuan (Laclau-Moufee, 1999).
Inilah sejatinya yang sedang kita lihat beberapa hari terakhir, di mana logika kekuasaan dan politik, berbenturan satu sama lain dengan pengetahuan dan hukum positif.
Tidak adanya integrasi yang solid antara pengetahuan, keputusan politik dan hukum. Hal itu akhirnya melahirkan krisis rasionalitas dalam diri masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan, upaya angket dan gugatan ke MK adalah proses yang tidak hanya harus dilakukan oleh pasangan 01 dan 03 sebagai bentuk pertanggungjawaban politiknya kepada konsituen yang sudah memilihnya. Namun juga sangat dibutuhkan oleh pasangan 02 untuk memastikan legitimasinya dalam pemerintahan ke depan.
Dan yang terpenting, angket dan gugatan ke MK menjadi sangat penting bagi kita semua selaku anak bangsa. Sebab gosip politik yang terus berkembang di tengah kita, akan secara otomatis membangun fregmentasi sosial-politik yang tidak mudah didamaikan.
Pada titik ini, angket dan gugatan ke MK sebenarnya merupakan instrumen demokrasi yang akan menyelamatkan demokrasi itu sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.