Kedua, pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Selain itu, RUU PDKJ juga mengatur pembentukan badan layanan bersama melalui keputusan bersama kepala daerah di kawasan aglomerasi guna mendukung penyediaan layanan dasar yang bersifat dan berdampak lintas wilayah, dengan kekayaan sendiri, mengelola anggaran dan pegawai sendiri, serta melakukan kerja sama dengan pihak lain.
Adanya dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi sebagai sarana sinkronisasi perencanaan dan acuan pembangunan Jabodetabekjur, penunjukan ketua dan anggota DKA oleh Presiden, dan pembentukan badan layanan bersama menjadi pembeda antara DKA dengan kelembagaan serupa sebelumnya, yakni Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur.
Lembaga yang dibentuk melalui Peraturan Bersama antara Gubernur-Bupati-Walikota se-Jabodetabekjur Tahun 2010 tersebut mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan pembangunan bersama di wilayah Jabodetabekjur yang diketuai secara bergilir oleh tiga Gubernur dalam kawasan, dengan 'operational arm' berupa Sekretariat BKSP yang dilengkapi dengan struktur organisasi dan tata kerja.
Namun dalam implementasinya, BKSP—dan Sekretariat BKSP—lagi-lagi dihadapkan pada kerumitan koordinasi dan kesulitan menggerakan kebijakan bersama karena ketiadaan daya eksekusi.
Selain itu, sifat permasalahan Jabodetabekjur yang acapkali melintas kewenangan provinsi menjadikan penyelesaiannya hanya bisa dilakukan pada tingkat yang lebih tinggi, yakni Pemerintah Pusat.
Sehingga meski tiap tiga tahun sekali Ketua dan Sekretaris berganti sesuai urutan provinsi, tak nampak progres berarti terkait integrasi pembangunan yang bersifat lintas kawasan di Jabodetabekjur, terkecuali beberapa inisiatif seperti perluasan layanan Transjakarta ke sekitaran kawasan aglomerasi serta pengelolaan TPS Terpadu Bantargebang di Kota Bekasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di luar itu, integrasi pembangunan kawasan lebih banyak dikawal via program dan kegiatan yang memang diselenggarakan oleh kementerian/lembaga. Gaung BKSP pun tenggelam ditelan waktu.
Apa yang terjadi pada BKSP Jabodetabekjur menjadi pelajaran berharga dalam operasionalisasi kelembagaan DKA ke depan.
Evaluasi menyeluruh atas eksistensi dan kinerja BKSP perlu segera dilakukan, sembari menyusun rancang-bangun kelembagaan DKA yang tepat fungsi, tepat proses, dan tepat ukuran.
Hal paling utama yang perlu menjadi fokus DKA adalah bagaimana memainkan peran sebagai orkestrator, baik dalam orkestrasi kebijakan pemerintahan daerah dalam kawasan aglomerasi, orkestrasi kebijakan per sektor pembangunan, orkestrasi tata ruang, hingga orkestrasi pembiayaan beserta inovasinya—tanpa merebut kewenangan yang melekat pada pemerintah daerah.
Perwujudan optimal peran tersebut bisa diraih dengan tak hanya memperkuat kelembagaan Dewan semata, melainkan juga 'operational arm'-nya, baik manajemen eksekutif/sekretariat eksekutif maupun badan layanan bersama.
Keberadaan Tim Koordinasi Penataan Ruang (TKPR) Jabodetabekpunjur yang diketuai oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 dapat menjadi contoh—atau bahkan modal dasar—pembentukan kelembagaan DKA.
Tim Koordinasi yang dibentuk untuk mengoperasionalisasikan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur tersebut tak hanya beranggotakan menteri/kepala lembaga terkait, melainkan juga gubernur Jakarta, gubernur Jawa Barat, dan gubernur Banten sebagai penanggung jawab wilayah masing-masing.
Di level yang lebih teknis, dibentuk tim pelaksana yang diisi oleh pejabat teknis Eselon I dari kementerian/lembaga terkait, dibantu oleh Kantor Manajemen Proyek (Project Management Office/PMO) dalam penyelenggaraan operasional Tim secara 'day-to-day' mulai dari penyelarasan program dan anggaran, penyelesaian permasalahan, dan inovasi kebijakan.
Lebih lanjut, di samping struktur Tim dan PMO, juga dibentuk kelompok kerja yang difokuskan dalam penanganan masalah strategis Jabodetabekpunjur, terdiri dari pengendalian banjir, air bersih, sanitasi dan sampah, transportasi, pengendalian tata ruang dan pertanahan, pesisir dan penataan pantura, dan insentif serta disinsentif.
Selain itu, keberadaan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang merupakan unit kerja di bawah Kementerian Perhubungan juga dapat menjadi modal pengembangan badan layanan bersama yang dimandatkan dalam RUU PDKJ.
Tinggal bagaimana merumuskan dan menetapkan mekanisme pelibatan kepala daerah dan perangkat daerah kawasan aglomerasi dalam tata kerja BPTJ ke depan.
Yang terpenting selanjutnya adalah membangun komitmen dan kesadaran bersama antara pemerintah di kawasan aglomerasi, bahwa kemajuan Jabodetabekjur tak hanya akan menguntungkan serta memfokuskan Jakarta semata sebagai kota primat, tetapi menyebarkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, untuk semua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.