MASALAH koordinasi adalah salah satu masalah tertua dalam birokrasi pemerintahan, sebut Bouckaert, Peters, dan Verhoest dalam bukunya ‘The Coordination of Public Sector Organizations’ (2010).
Semakin besarnya struktur dan banyaknya kegiatan yang diselenggarakan pemerintah, maka semakin kompleks dinamika koordinasi yang dihadapi.
Tanpa penanganan yang tepat, kerumitan koordinasi tersebut dapat berbuntut pada masalah-masalah lainnya seperti tarik-ulur kewenangan, ketidakjelasan pembagian peran, hingga ketidakselarasan perumusan maupun implementasi kebijakan di tingkat Pusat dan Daerah.
Maka kemudian, para pemikir dan praktisi berlomba menelurkan gagasan serta praktik terbaik dalam menuntaskan permasalahan ini, mulai dari pembentukan jejaring kerja multiaktor dalam berbagai bentuk dan derajat hingga pengembangan sistem pemerintahan berbasis elektronik untuk memangkas hambatan koordinasi serta memperkuat kolaborasi antaraktor.
Dalam konteks pengelolaan perkotaan kiwari, dinamika koordinasi pemerintah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal turut menjadi tantangan tak berkesudahan yang acapkali mengganjal penyelenggaraan pembangunan.
Padahal, permasalahan perkotaan terkini muncul seakan tak ada habisnya, seperti pertumbuhan perkotaan yang tak terkendali, berkembangnya permukiman kumuh, kemacetan lalu-lintas, penurunan muka tanah, banjir dan pencemaran air, mismanajemen pengelolaan sampah, sampai pada lemahnya penegakan pemanfaatan ruang.
Jakarta sebagai pusat dari segala kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan bisnis di Indonesia saat ini menanggung berbagai beban derita perkotaan di atas tanpa terkecuali.
Berdasarkan data Polda Metro Jaya (2022), total jumlah penduduk yang berkegiatan di Jakarta di siang hari mencapai 14 juta orang, yang sedikit-banyak dikontribusikan oleh para penduduk kawasan aglomerasi Jakarta yang menjadi pelaju (commuter). Bandingkan dengan jumlah asli penduduk Jakarta sebanyak 10,6 juta jiwa (BPS, 2022).
Ramainya mobilitas penduduk di dalam dan antarwilayah dalam kawasan aglomerasi Jakarta—mencakup Bogor (Kota dan Kabupaten), Bekasi (Kota dan Kabupaten), Tangerang (Kota dan Kabupaten), Kota Depok, Kota Tangerang Selatan, serta Kabupaten Cianjur atau dikenal dengan Jabodetabekjur—hanya merupakan salah satu problematika mendasar dari berbagai hal krusial lainnya jika berbicara tentang permasalahan Jakarta.
Kawasan aglomerasi Jakarta dihuni lebih kurang 35 juta penduduk (Bappenas, 2023), hanya berada di belakang Greater Tokyo Area (Jepang) sebagai megapolitan dengan penduduk terbanyak di dunia.
Sehingga pemahaman bahwa kawasan Jabodetabekjur merupakan satu kesatuan ekosistem perkotaan yang saling berkaitan amat dibutuhkan agar solusi yang dihasilkan bersifat komprehensif.
Maka, gagasan membentuk Dewan Kawasan Aglomerasi (DKA) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU PDKJ) menjadi terobosan baik untuk memperkuat koordinasi penyelenggaraan pelaksanaan pembangunan pada kawasan aglomerasi Jabodetabekjur.
Namun demikian, perbincangan publik atas gagasan tersebut justru lebih riuh pada pengaturan kepemimpinan DKA yang akan dijabat oleh Wakil Presiden, yang lebih bernada politis kaitannya dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 ketimbang bermuatan substantif.
Pada perjalanannya, agar memenuhi prinsip pemerintahan presidensial di mana Presiden memegang tanggungjawab penuh dalam penyelenggaraan ketatanegaraan, forum Rapat Panitia Kerja RUU PDKJ menyepakati untuk mengubah peraturan tersebut sehingga penunjukan ketua dan anggota DKA menjadi kewenangan presiden—bisa wakil presiden, menteri koordinator, atau menteri terkait.
Kemudian dalam draft RUU PDKJ, diatur bahwa DKA memiliki dua tugas utama: Pertama, mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi.