Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sidik Pramono
Dosen dan Peneliti

Pengajar pada Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia serta Peneliti pada Election and Governance Project

Menyiasati Sistem Proporsional Daftar Calon Terbuka

Kompas.com - 18/03/2024, 07:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Persaingan internal antarcalon dari parpol dalam dapil menjadi tidak kalah sengit dibandingkan dengan persaingan antarparpol ataupun antar-caleg yang berbeda parpol.

Ibaratnya, para caleg dalam satu parpol bekerja bersama-sama untuk memastikan parpolnya terlebih dulu meraih kursi dari dapil; untuk selanjutnya bertarung mati-matian di lingkup internal untuk memperebutkan kursi tersebut.

Fenomena pengunduran diri secara sukarela sebelum penetapan calon terpilih, seperti yang dilakukan oleh Ratu Wulla mungkin saja terhitung “baru”.

Namun khusus pada Pemilu 2024, diberitakan ada calon anggota DPRD yang perolehan suaranya signifikan, tetapi terancam tak akan dilantik karena tidak dikehendaki oleh partainya sendiri.

Terlepas dari apapun motifnya, jika benar Ratu Wulla mundur sukarela dan tanpa ada sengketa dengan partainya, yang bersangkutan dipastikan akan dinyatakan dicoret dari Daftar Calon Tetap (DCT) sehingga haknya sebagai calon anggota legislatif akan hilang, termasuk kesempatan menjadi calon pengganti.

Biasanya, jika memang calon terpilih ternyata bukanlah calon yang diinginkan oleh partainya untuk duduk di parlemen, partai politik akan menggunakan mekanisme penggantian antarwaktu (PAW).

Ketentuan menyatakan bahwa PAW dilakukan dengan anggota DPR/DPRD yang berhenti antarwaktu digantikan oleh calon pengganti antarwaktu diambil dari daftar calon dari parpol yang sama pada daerah pemilihan sama, yang menduduki peringkat suara terbanyak berikutnya.

Mekanisme PAW ini adalah proses yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan, sekalipun banyak pihak yang merasa bahwa ketentuan PAW tersebut memberikan ruang kekuasaan berlebih kepada parpol.

Di luar terjadinya pelanggaran hukum oleh caleg terpilih yang memang sudah sewajarnya dilakukan penggantian, masih terdapat ruang kewenangan yang besar dari parpol untuk menarik anggotanya di parlemen tanpa parameter lebih terukur dan bisa saja didasari kesuka-tidaksukaan pada anggota tertentu.

Alhasil, pengajuan PAW potensial memancing sengketa yang berlarut manakala anggota yang ditarik ternyata berani melawan keputusan partainya sendiri.

Dalam klausul perundang-undangan, kata kunci PAW adalah calon pengganti dari dapil yang sama tersebut menduduki peringkat suara terbanyak berikutnya.

Tantangannya adalah manakala perolehan suara calon yang dijagokan tepat di belakang calon terpilih.

Namun bisa dibayangkan jika calon yang ingin dimajukan oleh parpol ternyata perolehan suaranya masih di bawah sejumlah calon lain –yang semestinya lebih berhak mendapatkan kursi penggantian tersebut.

Dalam kondisi calon yang dijagokan harus “melompati” sejumlah calon lain, biasanya yang terjadi adalah “proses internal” yang berujung pada pengunduran diri para calon tersebut sehingga sang calon jagoan secara formal menjadi berhak ditetapkan sebagai anggota parlemen dengan mekanisme PAW.

Pemilu 2019 lalu memperlihatkan bagaimana calon bernomor urut atas yang perolehan suaranya dikalahkan oleh calon nomor urut di bawahnya, mengupayakan berbagai upaya untuk meraih kursi parlemen.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com