Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif hingga 18 orang.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.
Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) yang hadir di TPS membeludak hingga 7,5 kali lipat pemilih DPT yang hadir di TPS.
Pemilih DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih. Ini menunjukkan, proses pemutakhiran daftar pemilih di Kuala Lumpur bermasalah.
Pada metode KSK, jumlah pemilih DPK yang hadir bahkan 30 kali lipat lebih banyak ketimbang pemilih DPT yang hadir mencoblos.
Dalam mempersiapkan pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, KPU diminta untuk melakukan pemutakhiran ulang daftar pemilih dan memastikan alamat-alamat para pemilih yang sebelumnya tidak jelas.
KPU juga memutuskan akan meniadakan pemungutan suara melalui metode pos dalam PSU ini.
Dari kasus yang sama, berdasarkan gelar perkara kemarin, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menduga bahwa 7 anggota PPLN Kuala Lumpur secara sengaja menambah jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang sudah ditetapkan dan memalsukan DPT.
Para tersangka dijerat Pasal 545 dan/atau Pasal 544 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Bareskrim Periksa 18 Saksi Terkait Kasus Penambahan DPT Pemilu di Kuala Lumpur
Ketujuh anggota PPLN Kuala Lumpur itu sebelumnya juga sudah dinonaktifkan sementara oleh KPU RI menyusul masalah tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.