Ninis mengatakan, Sirekap merupakan platform transparansi dan publikasi data dalam penghitungan suara pilpres dan pileg.
Sebab, sulit bagi masyarakat mengawasi proses penghitungan suara manual yang prosesnya lama karena dilakukan secara berjenjang dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional.
Baca juga: Polemik Sirekap Pemilu 2024, MUI: Kedaulatan Negeri Bukan di KPU
Sirekap seharusnya berfungsi untuk memberikan gambaran atas progress penghitungan suara. Lewat Sirekap, publik mestinya dapat melakukan pengawasan melalui pengamatan formulir model C dan grafik data digital yang memuat hasil rekapitulasi sementara pilpres dan pileg.
Oleh karenanya, penyetopan grafik data digital dalam Sirekap dinilai mengurangi transparansi penghitungan suara pemilu.
“Ini sudah setengah jalan proses rekap, kalau kemudian di tengah jalan dihilangkan grafik dan data digitalnya, maka saya khawatir justru malah semakin bikin tambah polemik,” tutur Ninis.
Ninis pun menilai, sejak awal KPU tak menyiapkan Sirekap dengan baik. Ini terbukti dari banyaknya persoalan yang terjadi pada sistem informasi rekapitulasi tersebut.
“Saya melihat sirekap ini tidak disiapkan dengan baik. Bukan hanya teknologinya, tapi juga SDM-nya,” kata Ninis.
Mantan Ketua KPU RI Arief Budiman juga menyayangkan keputusan KPU menghentikan penayangan grafik Sirekap. Menurutnya, langkah KPU ini sebuah kemunduran.
“Itu justru bertentangan dengan apa yang disebut dengan Sirekap. Sirekap itu kan sistem informasi rekapitulasi, itu malah mengalami kemunduran,” kata Arief dalam program Rumah Pemilu Kompas TV, Rabu (6/3/2024).
Arief mengatakan, Sirekap sebenarnya bukan hal baru. Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, KPU RI juga menggunakan teknologi yang sama yang dinamakan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng).
Pada Pemilu 2014, Situng hanya memuat informasi hasil penghitungan suara di seluruh TPS tanpa menampilkan hasil rekapitulasi. Saat itu, masyarakat menjumlahkan sendiri hasil penghitungan suara di tiap TPS untuk mendapatkan besaran angka rekapitulasi.
Pada 2019, Situng dibuat lebih mutakhir, tidak hanya menampilkan hasil hitung suara di TPS, tetapi juga rekapitulasi suara secara berjenjang, dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga nasional.
Teknologi yang sama digunakan pada Pilkada 2020 dan Pemilu 2024 dengan nama Sirekap. Namun, baru setengah jalan, tampilan grafik rekapitulasi suara dalam Sirekap dihentikan.
Padahal, menurut Arief, jika grafik rekapitulasi Sirekap bermasalah, tidak seharusnya KPU menghentikan fitur tersebut. Mestinya, KPU melakukan pembenahan.
“Kenapa kemudian ketika Sirekap bermasalah, kemudian pelayanan kepada publik yang jadi korban? Artinya pelayanan itu kan jadi menurun, harusnya publik bisa melihat hasil penghitungan, plus hasil rekapitulasinya,” ujar Arief.