Karena cakupan yang tidak luas, para kandidat berebut pemilih yang relatif sama, baik dari segi suku, agama maupun budaya.
Sehingga, banyaknya uang dan paket sembako yang dibagikan menjadi pembeda antarkandidat yang akan menentukan arah suara pemilih.
Jika kandidat bernasib baik, maka suara satu keluarga akan diberikan semuanya. Jika bernasib kurang beruntung, maka kandidat akan bertemu dengan keluarga yang membagi suara untuk beberapa kandidat –suami ke kandidat A, istri ke kandidat B dan anaknya ke kandidat C– karena telah menerima uang dan sembako lebih dari satu kandidat dengan besaran yang hampir sama.
Jika bernasib sial, maka kandidat tidak memperoleh suara sama sekali karena telah ‘ditimpa’ oleh kandidat lain dengan besaran politik uang yang lebih besar.
Di tingkat DPRD provinsi dan DPR RI, pertarungan antarkandidat di akar rumput tidak begitu kompetitif karena faktor kedekatan.
Kompetisi sesungguhnya terjadi antarkandidat di internal partai politik masing-masing. Banyak rakyat tidak mengenal para kandidat di tingkatan tersebut.
Berbeda dengan tingkat kabupaten atau kota yang kandidatnya berasal dari kampung setempat. Bisa jadi tetangga kampung, tetangga desa dan paling jauh tetangga kecamatan.
Lalu apa yang membuat pemilih mengenal kandidat di tingkatan lebih tinggi? Tentu, ada alat peraga kampanye dan media sosial, yang mudah sekali diabaikan oleh pemilih.
Dalam konteks ini, uang menjadi perantara yang melipat jarak tersebut, yang menentukan pilihan politik pemilih.
Karena wilayah kompetisi yang luas dan pertarungan antarkandidat yang tidak begitu kompetitif di akar rumput, besaran politik uang yang dikeluarkan untuk satu pemilih tidak sebesar kandidat di tingkat kabupaten atau kota.
Dengan masifnya politik uang, tak heran jika pemilu disebut sebagai pesta rakyat. Seolah-olah, dengan uang yang diperolehnya, rakyat berpesta. Namun yang terjadi adalah pesta semu. Dalam hal ini, rakyat tak bisa disalahkan.
Kekecewaan demi kekecewaan terhadap elite politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, memaksa rakyat bersikap pragmatis dalam pemilu.
Mulai dari janji yang tidak ditepati, pungli ketika berurusan dengan pemerintahan di semua tingkatan, kepentingan publik yang diabaikan hingga perilaku korupsi para elite.
Daripada tidak memperoleh apa-apa, lebih baik menerima uang beserta paket sembako untuk sekadar bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan.
Rakyat memaknai pemilu dengan sederhana, namun sangat mendalam: setelah ini, kita akan hidup dengan perjuangan masing-masing.