Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Melfin Zaenuri
Peneliti

Direktur Eksekutif The Strategic Lab, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia

Pesta Semu Demokrasi

Kompas.com - 06/03/2024, 16:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUNCAK perhelatan Pemilu 2024 telah usai, ditandai dengan pemungutan dan penghitungan suara pada 14 Februari 2024.

Untuk hasil dan penetapan para pejabat politik terpilih (elected officials), kita menunggu hasil penghitungan berjenjang (real count) yang dilakukan KPU di semua tingkatan.

Meskipun telah usai dan berlangsung relatif damai dan tertib, Pemilu 2024 menyisakan catatan-catatan penting terkait perkembangan demokratisasi di Indonesia. Salah satunya adalah perihal perilaku pemilih yang setiap pemilu selalu mengalami perubahan.

Apa sebenarnya yang menggerakkan pemilih untuk datang ke TPS dan memberikan suara kepada kandidat maupun partai politik tertentu? Dari banyaknya nama kandidat, apa yang membuat pemilih mencoblos satu nama maupun satu partai politik?

Politik uang yang masif

Ada banyak faktor sebenarnya yang memengaruhi perilaku pemilih. Tanpa mengabaikan keragaman faktor tersebut, dalam Pemilu 2024 ini, saya menemukan bagaimana kekuatan uang mampu memengaruhi pilihan pemilih.

Dalam banyak kasus, uang –dalam arti politik uang– tidak sekadar memengaruhi, melainkan menentukan preferensi politik pemilih.

Setidaknya fenomena ini yang saya saksikan selama seminggu terakhir menjelang hari pencoblosan di daerah saya di Jawa Timur.

Transaksi politik uang juga terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, yang sebenarnya bukan fenomena politik baru, tetapi telah menjelma ‘budaya politik’ kita.

Saya meyakini, semua pihak mengetahui praktik jual beli suara ini, mulai dari kandidatnya, pemilihnya hingga penegak hukumnya, dan bahkan penyelenggara pemilunya. Istilahnya sudah ‘tahu-sama-tahu’.

Persoalannya, kita tidak pernah beranjak dari sekadar ‘tahu-sama-tahu’ untuk menemukan formula kebijakan yang tepat terkait pengelolaan uang dalam politik.

Alih-alih menyusut, politik uang semakin masif dan meluas. Bahkan, uang saja tidak cukup untuk mengarahkan pilihan pemilih. Perlu pelapis seperti paket sembako dan bantuan lainnya.

Kadang, uang dan sembako masih belum cukup. Perlu ‘dikemas’ dengan kegiatan sosial-keagamaan secara rutin seperti majelis taklim, majelis shalawat dan lain sebagainya.

Itu pun masih dengan catatan, agar besaran logistik yang dikeluarkan sesuai dengan besaran suara yang diperoleh, maka perlu middle-man tepat sebagai jembatan antara kandidat dan pemilih.

Kita menyebut middle-man itu dengan pelbagai istilah, tim sukses, broker politik, makelar suara atau apapun namanya. Dan untuk middle-man ini, ada ongkos politik khusus yang harus dikeluarkan lagi.

Politik uang berlapis-lapis tersebut biasanya terjadi dalam kompetisi elektoral di tingkat DPRD kabupaten atau kota. Semakin sempit wilayah kompetisinya, semakin sengit pertarungan antarkandidat.

Karena cakupan yang tidak luas, para kandidat berebut pemilih yang relatif sama, baik dari segi suku, agama maupun budaya.

Sehingga, banyaknya uang dan paket sembako yang dibagikan menjadi pembeda antarkandidat yang akan menentukan arah suara pemilih.

Jika kandidat bernasib baik, maka suara satu keluarga akan diberikan semuanya. Jika bernasib kurang beruntung, maka kandidat akan bertemu dengan keluarga yang membagi suara untuk beberapa kandidat –suami ke kandidat A, istri ke kandidat B dan anaknya ke kandidat C– karena telah menerima uang dan sembako lebih dari satu kandidat dengan besaran yang hampir sama.

Jika bernasib sial, maka kandidat tidak memperoleh suara sama sekali karena telah ‘ditimpa’ oleh kandidat lain dengan besaran politik uang yang lebih besar.

Di tingkat DPRD provinsi dan DPR RI, pertarungan antarkandidat di akar rumput tidak begitu kompetitif karena faktor kedekatan.

Kompetisi sesungguhnya terjadi antarkandidat di internal partai politik masing-masing. Banyak rakyat tidak mengenal para kandidat di tingkatan tersebut.

Berbeda dengan tingkat kabupaten atau kota yang kandidatnya berasal dari kampung setempat. Bisa jadi tetangga kampung, tetangga desa dan paling jauh tetangga kecamatan.

Lalu apa yang membuat pemilih mengenal kandidat di tingkatan lebih tinggi? Tentu, ada alat peraga kampanye dan media sosial, yang mudah sekali diabaikan oleh pemilih.

Dalam konteks ini, uang menjadi perantara yang melipat jarak tersebut, yang menentukan pilihan politik pemilih.

Karena wilayah kompetisi yang luas dan pertarungan antarkandidat yang tidak begitu kompetitif di akar rumput, besaran politik uang yang dikeluarkan untuk satu pemilih tidak sebesar kandidat di tingkat kabupaten atau kota.

Kekecewaan dan politik uang

Dengan masifnya politik uang, tak heran jika pemilu disebut sebagai pesta rakyat. Seolah-olah, dengan uang yang diperolehnya, rakyat berpesta. Namun yang terjadi adalah pesta semu. Dalam hal ini, rakyat tak bisa disalahkan.

Kekecewaan demi kekecewaan terhadap elite politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, memaksa rakyat bersikap pragmatis dalam pemilu.

Mulai dari janji yang tidak ditepati, pungli ketika berurusan dengan pemerintahan di semua tingkatan, kepentingan publik yang diabaikan hingga perilaku korupsi para elite.

Daripada tidak memperoleh apa-apa, lebih baik menerima uang beserta paket sembako untuk sekadar bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan.

Rakyat memaknai pemilu dengan sederhana, namun sangat mendalam: setelah ini, kita akan hidup dengan perjuangan masing-masing.

Padahal, di masa awal reformasi, ketika pemilihan langsung bergulir, saya menyaksikan bagaimana antusiasme rakyat di kampung saya mencoblos kandidat legislatif terdekat tanpa iming-iming politik uang, namun dengan menaruh harapan besar demi perbaikan kehidupan masyarakat secara kolektif lebih baik.

Setelahnya, yang diperoleh rakyat adalah kekecewaan bertubi-tubi, sehingga aspirasi kolektif dalam pemilu bergeser menjadi semangat individualistis.

Jika rakyat tak bisa disalahkan dalam konteks politik uang, bagaimana dengan elite politik?

Dilematis. Ekosistem politik kita hari ini memaksa elite politik untuk menggunakan politik uang sebagai salah satu strategi demi memperoleh suara elektoral. Jika tidak, maka elite yang lain akan menggunakannya dan begitu seterusnya.

Kompetisi antarelite dan pergeseran perilaku pemilih kita turut bertanggungjawab dalam mensukseskan pesta ‘semu’ demokrasi ini. Sampai kapan ini akan terjadi? Wallahu A'lam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com