Apalagi, kepada Wakil Rakyat yang oleh konstituen dipilih dengan penuh antusias dan optimisme di bilik suara.
Terhadap perkara beras dan imbasnya yang berkaitan dengan hajat hidup, rakyat jelas berharap keberpihakan.
Di hilir, keberpihakan itu salah satunya adalah soal stabilitas. Kenaikan harga tanpa ‘suplemen’ peningkatan pendapatan adalah persoalan.
Kalangan ekonomi menengah terpaksa ‘makan’ tabungan. Kalangan menengah ke bawah memutar otak untuk tetap bertahan; memangkas menu makan semurah mungkin, mengurangi pos pengeluaran lain, atau skenario terburuk bertajuk “gali lubang, tutup lubang”.
Terakhir, kalangan miskin makin bergantung dari skema bantuan.
Di hulu, kiranya ada persoalan lain yang perlu didalami selain narasi faktor iklim yang memengaruhi produktifitas pertanian.
Bagaimana dengan beberapa fakta lapangan (field fact) yang dikompilasi Data Desa Presisi seperti, pertama, mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 1 hektar?
Kedua, mereka cenderung lemah dari sisi aksesibilitas ke lembaga keuangan sehingga sulit untuk bertumbuh.
Ketiga, lingkaran keterbatasan dan kesulitan tersebut membentuk siklus kemiskinan yang berkontribusi terhadap ‘kemacetan’ regenerasi petani.
Dalam hal ini, anak dari rumah tangga petani miskin cenderung enggan meneruskan pekerjaan orangtua, karena keinginan memperbaiki taraf hidup. Efeknya, produktifitas pertanian menurun seiring usia petani yang semakin tua.
Pada akhirnya, dari segala sesuatu yang telah diulas, maka ujung dari “ribut” kenaikan harga beras mestinya bukan heran dan pertanyaan. Tapi, keberpihakan.
Keberpihakan dari hulu ke hilir yang ditunjukkan dengan pertarungan sebagai pemangku kebijakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.