Sementara, dalam rentang tahun ke tahun (year to year), inflasi umum Indonesia per Februari 2024 menyentuh angka 2,75 persen.
Andil inflasi beras terhadap inflasi umum tahunan adalah 0,67 persen atau 24 persen inflasi umum (Kompas, 1/3/2024). Posisi demikian menegaskan kuatnya dampak inflasi beras terhadap inflasi umum Indonesia, baik dalam konteks bulanan maupun tahunan.
Ironisnya, inflasi beras yang integral dengan inflasi umum berbanding terbalik dengan pertumbuhan pendapatan rakyat.
Studi LPEM FEB UI belum lama ini mengungkap fenomena ketimpangan pendapatan yang melebar di masa pemerintahan Jokowi jilid II.
Berbeda dengan jilid I yang teridentifikasi cukup inklusif, situasi perekonomian Indonesia di era Jokowi periode kedua ditandai dengan pertumbuhan pendapatan rakyat yang timpang.
Pernyataan ini diperkuat dengan temuan Kurva Insiden Pertumbuhan (Growth Incidence Curve) yang menunjukkan pertumbuhan pendapatan rakyat Indonesia berdasarkan kelompok pendapatan (LPEM FEB UI, 2023).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di periode Jokowi jilid II, pertumbuhan pendapatan signifikan dirasakan oleh kelompok 20 persen terbawah (mencapai 2 persen per tahun) dan 10 persen teratas (bertumbuh hingga 4 persen per tahun).
Sementara, pertumbuhan pendapatan kelas menengah ke bawah dan menengah cenderung stagnan–dan bahkan negatif.
Paradoks kesenjangan pertumbuhan pendapatan dan gerak inflasi komoditas primer telak menjadi justifikasi “ribut” publik ketiga.
Karena sifatnya yang primer, beras tetap harus dibeli meskipun mahal. Pun demikian halnya dengan makanan olahan jadi yang akan tetap dibeli karena keharusan (necessity).
Konsekuensinya, alokasi pengeluaran untuk konsumsi akan lebih besar. Sementara, di waktu yang sama, pendapatan tidak bertumbuh dan–malah–tergerus seiring waktu.
Setiap kelas ekonomi tentu saja akan merasakan dampaknya. Namun, dari tren pertumbuhan pendapatan seperti diungkap LPEM FEB UI, pihak yang paling terdampak adalah kelas menengah dan menengah ke bawah.
Kalangan ini bukan prioritas program-program berorientasi perlindungan kesejahteraan, semisal Bansos, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Tanpa perhatian dan keberpihakan yang jelas dari para pemangku kebijakan, dalam jangka panjang kelas ini sangat mungkin merosot dan terancam miskin.
Setiap kebijakan publik pada prinsipnya adalah keputusan politik (Sjaf, 2023). Sehingga, tentu sangat besar harapan rakyat kepada para politisi yang memiliki akses sebagai pemangku kebijakan.