Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Pemilu 2024: Pertandingan yang Tak Adil

Kompas.com - 26/02/2024, 12:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar dan terkompleks di dunia: lebih dari 204 juta pemilih untuk 5 jenis pemilihan (Pilpres, DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) hanya dalam sehari.

Secara keseluruhan, pemilu berlangsung dengan aman. Antusiasme pemilih juga cukup tinggi.

Merujuk pada hasil hitung cepat, partisipasi pemilih untuk Pilpres mencapai 85,02 persen, sementara Pileg sebesar 83,55 persen.

Pemilu seharusnya meneguhkan jalan demokrasi kita dan sekaligus bisa menepis kekhawatiran tentang demokrasi yang mengalami kemunduran.

Untuk itu, ukurannya bukan saja pemilu yang aman dan partisipasi pemilih yang tinggi. Kalau sekadar itu, Orde Baru pernah melakukannya dalam enam pemilu.

Lebih penting dari itu, penyelenggaraan pemilu harus berlangsung bebas, jujur, dan adil. Pada bentuk praksis, pemilu seharusnya menyediakan lapangan permainan yang seimbang (level playing field).

Lapangan elektoral seimbang

Dalam perspektif minimalis tentang demokrasi (Joseph Schumpeter, 1942; Adam Przeworski, 1991), pemilu bebas dan kompetitif merupakan prasyarat paling mendasar dari bangunan demokrasi.

Namun, tidak semua pemilu menjiwai demokrasi. Enam pemilu di bawah Orde Baru jelas tidak demokratis.

Merujuk pada Przeworski, pemilu seharusnya merupakan pelembagaan ketidakpastian (institutionalized uncertainty). Dalam pengertian ini, pemilu yang bebas dan kompetitif adalah pemilu yang hasilnya tidak terprediksi.

Dalam konteks Orde Baru, karena intervensi dan manipulasi penguasa untuk memenangkan Golkar, pemenang pemilu sudah diketahui sebelum pemilu.

Namun, seperti apa pemilu yang bebas dan adil itu? Elklit dan Svensson (1997) menjelaskan bebas (freedom) sebagai kesempatan kandidat atau pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu tanpa koersi (tekanan) dan pembatasan, sedangkan adil (fairness) sebagai imparsialitas dan perlakuan yang sama.

Steven Levitsky dan Lucan Way (2010) memperkaya penjelasan itu dengan memperkenalkan konsep lapangan permainan yang seimbang (level playing field), yaitu akses yang setara oleh semua kandidat maupun partai terhadap sumber daya finansial, media, dan hukum.

Namun, penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa atau petahana kerap menciptakan disparitas dalam mengakses sumber daya finansial, media, dan hukum, sehingga menyebabkan lapangan permainan berat sebelah (uneven playing field). Situasi itu akan merugikan kandidat atau partai oposisi.

Pertandingan tak adil

Sejak Presiden Joko Widodo ikut cawe-cawe dalam proses pengusungan Capres-Cawapres, lapangan permainan sudah berat sebelah. Sebab, ada kandidat yang di-endorse, sementara kandidat yang merepresentasikan oposisi seperti dihadang.

Puncaknya, setelah pelanggaran etik berat di Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran Rakabuming, anak sulung Presiden Jokowi, sebagai Cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto.

Presiden Jokowi terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada pasangan Prabowo-Gibran.

Masalahnya, ketidaknetralan Presiden itu telah mengubah lapangan kompetisi elektoral menjadi semakin berat sebelah.

Akhir 2023, ada keluhan Anies Baswedan, capres dari koalisi perubahan, bahwa banyak pengusaha yang takut membantu kampanyenya karena diintimidasi aparat negara.

Selain itu, kampanye AMIN paling banyak mengalami pembatalan karena perizinan dicabut, seperti Aceh, Bekasi, Pekanbaru, Ciamis, Tasikmalaya, Bandung, Tanah Datar (Sumbar), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Presiden Jokowi menerbitkan aturan baru (PP Nomor 53 tahun 2023) yang memungkinkan pejabat menteri hingga wali kota yang menjadi kandidat di Pilpres tidak perlu mundur dari jabatannya.

Kebijakan itu memberi legitimasi pada penggunaan fasilitas negara dan acara kenegaraan untuk kampanye politik.

Seperti diingatkan oleh Levitsky dan Way (2010), petahana yang berusaha memenangkan kandidat tertentu dalam pemilihan akan condong pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dan itu terang terjadi: gelontoran bansos berskala besar jelang pemilihan dan pengerahan aparat negara (ASN, aparat keamanan, dan Kades) untuk memenangkan kandidat tertentu.

Terakhir, paling miris, institusi yang berfungsi sebagai wasit tidak bisa bertindak atas berbagai pelaporan rentetan pelanggaran itu. Mereka membiarkan aturan main dikangkangi oleh kekuatan yang disokong petahana.

Akhirnya, pemilu bukan memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia, tetapi justru menggiring Indonesia dalam jebakan otoritarianisme kompetitif.

Ini adalah istilah yang diperkenalkan oleh Levitsky dan Way (2010) merujuk pada rezim yang masih menyelenggarakan pemilu secara reguler, tetapi sumber daya dan institusi telah disalahgunakan untuk mengalahkan kandidat/partai oposisi dalam pemilu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Nasional
Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Nasional
Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Nasional
Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Nasional
Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Nasional
Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke 'Crazy Rich Surabaya'

MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke "Crazy Rich Surabaya"

Nasional
Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com