BERDASARKAN hasil sementara rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sudah dilakukan, sembilan dari 18 Partai politik peserta pemilu berpotensi tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan, yakni minimal 4 persen suara sah.
Sementara kesembilan partai tersebut diperkirakan hanya memperoleh suara akumulasi 10,31 persen (Litbang Kompas, 19/2).
Beberapa di antara partai yang berpotensi gagal lolos ke DPR sudah melakukan kampanye secara masif, bahkan ada yang memiliki kedekatan dengan penguasa.
Misalnya, Partai Solidaritas Indonesia yang sebelum perhelatan Pemilu 2024 melakukan pergantian kepemimpinan dengan mengangkat anak Presiden, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum.
Namun pada akhirnya, partai tersebut juga berpotensi gagal mengirimkan wakilnya ke Senayan, meski menjadi salah satu partai dengan poster kampanye terbanyak.
Selanjutnya, ada Perindo. Setali mata uang, partai ini juga berpotensi gagal lolos ke Senayan, meski sudah melakukan kampanye masif.
Begitupun partai-partai lainnya, meski sudah melakukan kampanye, namun perolehan suara tidak mencapai target minimal. Akibatnya, pemilih yang terlanjur memberikan suara kepada partai tersebut menjadi terbuang sia-sia. Hilang tanpa bekas.
Bila dicermati, sejumlah partai politik yang berpotensi gagal memenuhi ambang batas tersebut adalah partai-partai baru yang belum memiliki basis pendukung tetap.
Beberapa di antaranya menjalankan mekanisme pengaderan yang instan dengan merekrut banyak publik figur, tetapi minim pengalaman.
Kita tentu ingat bagaimana Kaesang, putra Presiden Joko Widodo secara tiba-tiba menjadi Ketua Umum PSI. Bergabung dengan partai, lalu langsung ditunjuk menjadi Ketum.
Hal ini tentu menujukkan betapa tidak berjalannya pengaderan yang baik di partai tersebut. Selain itu, proses yang demikian tidak akan pernah terjadi di partai-partai dengan pengaderan yang baik dan memiliki basis pendukung yang jelas.
Tidak hanya itu, jauh-jauh hari sebelum masa kampanye, sejumlah partai juga sibuk memublikasi kader-kadernya melalui spanduk bertuliskan jargon-jargon, tetapi minim gagasan.
Hasil dari kampenye demikian sudah dapat ditebak. Tidak menarik bagi pemilih dan sistem pemilu seakan menjadi ajang demokrasi “sampah” karena polusi visual di mana-mana.
Partai politik hanya fokus pada persaingan dalam sistem kepartaian yang terlalu banyak daripada meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Penyederhanaan kepartaian dan perubahan sistem pemilu serta penguatan sistem demokrasi internal partai seharusnya menjadi kebutuhan mendesak. Caranya dengan meningkatkan ambang batas parlemen.