Sementara kesembilan partai tersebut diperkirakan hanya memperoleh suara akumulasi 10,31 persen (Litbang Kompas, 19/2).
Beberapa di antara partai yang berpotensi gagal lolos ke DPR sudah melakukan kampanye secara masif, bahkan ada yang memiliki kedekatan dengan penguasa.
Misalnya, Partai Solidaritas Indonesia yang sebelum perhelatan Pemilu 2024 melakukan pergantian kepemimpinan dengan mengangkat anak Presiden, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum.
Namun pada akhirnya, partai tersebut juga berpotensi gagal mengirimkan wakilnya ke Senayan, meski menjadi salah satu partai dengan poster kampanye terbanyak.
Selanjutnya, ada Perindo. Setali mata uang, partai ini juga berpotensi gagal lolos ke Senayan, meski sudah melakukan kampanye masif.
Begitupun partai-partai lainnya, meski sudah melakukan kampanye, namun perolehan suara tidak mencapai target minimal. Akibatnya, pemilih yang terlanjur memberikan suara kepada partai tersebut menjadi terbuang sia-sia. Hilang tanpa bekas.
Bila dicermati, sejumlah partai politik yang berpotensi gagal memenuhi ambang batas tersebut adalah partai-partai baru yang belum memiliki basis pendukung tetap.
Beberapa di antaranya menjalankan mekanisme pengaderan yang instan dengan merekrut banyak publik figur, tetapi minim pengalaman.
Kita tentu ingat bagaimana Kaesang, putra Presiden Joko Widodo secara tiba-tiba menjadi Ketua Umum PSI. Bergabung dengan partai, lalu langsung ditunjuk menjadi Ketum.
Hal ini tentu menujukkan betapa tidak berjalannya pengaderan yang baik di partai tersebut. Selain itu, proses yang demikian tidak akan pernah terjadi di partai-partai dengan pengaderan yang baik dan memiliki basis pendukung yang jelas.
Tidak hanya itu, jauh-jauh hari sebelum masa kampanye, sejumlah partai juga sibuk memublikasi kader-kadernya melalui spanduk bertuliskan jargon-jargon, tetapi minim gagasan.
Hasil dari kampenye demikian sudah dapat ditebak. Tidak menarik bagi pemilih dan sistem pemilu seakan menjadi ajang demokrasi “sampah” karena polusi visual di mana-mana.
Partai politik hanya fokus pada persaingan dalam sistem kepartaian yang terlalu banyak daripada meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Meningkatkan ambang batas
Penyederhanaan kepartaian dan perubahan sistem pemilu serta penguatan sistem demokrasi internal partai seharusnya menjadi kebutuhan mendesak. Caranya dengan meningkatkan ambang batas parlemen.
Alasan utama peningkatan ambang batas tersebut tentu agar tidak muncul lagi partai-partai instan yang tidak memiliki basis pengaderan yang baik.
Selama ini, tidak ada kriteria atau persyaratan yang jelas bagi partai politik untuk merekrut dan mengusung calon legislatif. Akibatnya, tidak jarang partai politik merekrut calon hanya berdasarkan popularitas yang menyebabkan kualitasnya menjadi dipertanyakan.
Dengan adanya ambang batas yang lebih tinggi, partai politik tentu akan menjalankan pengaderan dengan lebih selektif.
Hal ini perlu dilakukan, karena secara regulasi, persyaratan untuk menjadi calon legislatif sangat longgar. Bahkan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan rekrutmen di lembaga negara lain yang hampir selalu mensyaratkan adanya pengalaman dalam jangka waktu tertentu di bidang terkait.
Merujuk hal tersebut, untuk meminimalkan kemungkinan adanya calon “abal-abal” yang diusung oleh partai politik, maka menaikkan ambang batas akan memberi dorongan kepada partai politik untuk lebih selektif.
Logikanya, tidak mungkin partai politik mengharapkan suara yang tinggi tanpa mengusung calon berkualitas.
Hal ini pula, secara tidak langsung akan memaksa partai politik menjadikan kualitas lebih utama daripada kuantitas dalam merekrut calon legislator.
Dengan demikian, diharapkan para legislator akan memiliki kompetensi yang lebih tinggi dan memiliki visi negarawan yang kuat.
Selanjutnya, dengan naiknya ambang batas parlemen akan mendorong pengurangan jumlah partai politik yang menduduki parlemen.
Bahkan berpotensi menjadi hanya dua poros sebagaimana yang lazim terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, di mana setiap pemilu hanya dua partai yang bersaing, yakni Partai Demokrat dan Republik.
Dua partai tersebut mendominasi dan silih berganti menjadi oposisi. Namun demikian, walaupun hanya dua partai yang mendominasi, bukan berarti tidak ada partai lain, hanya saja keberadaan dua partai tersebut menutup kemungkinan adanya poros ketiga di parlemen yang menjadi partai semi-koalisi atau semi-oposisi.
Ambang batas yang tinggi tidak hanya menghilangkan partai kecil dari perolehan kursi, tetapi juga memberikan insentif bagi partai dengan dukungan minoritas untuk membentuk koalisi.
Ini dapat menciptakan dinamika politik yang lebih kooperatif dan inklusif sehingga memungkinkan suara minoritas tetap terwakili melalui partisipasi dalam koalisi.
Selain itu, dengan sedikitnya jumlah partai, masyarakat juga akan lebih mudah menilai kinerja dari masing-masing partai untuk menjadi pertimbangan di Pemilu berikutnya.
Berikutnya terkait dengan penganggaran. Jika jumlah partai tidak terlalu banyak, maka distribusi anggaran untuk pelatihan dan dukungan terhadap partai politik akan lebih tepat sasaran.
Hal ini dapat mengarah pada penggunaan anggaran yang lebih efisien dan terfokus pada partai-partai yang memiliki potensi nyata untuk berkontribusi pada pembentukan kebijakan dan tata kelola negara.
Secara keseluruhan, perubahan ini akan menjadi efektif apabila diiiringi pendidikan politik yang mencerahkan supaya rakyat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Selain itu, dengan pendekatan yang terintegrasi dan selektif dalam pengaderan, diharapkan legislator yang terpilih akan memiliki kualitas yang lebih baik dan berkompeten.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/26/11261491/meningkatkan-ambang-batas-parlemen