Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serba-serbi Hak Angket: Din Syamsuddin Dorong Pemakzulan, Jimly Anggap Hanya Gertakan, dan Tanggapan Yusril

Kompas.com - 26/02/2024, 07:43 WIB
Adhyasta Dirgantara,
Icha Rastika

Tim Redaksi

“Tentunya hak angket itu baik bagi kedua belah pihak, karena sekarang banyak isu bahwa (pemilu) ini ada masalah,” ujar Kalla dalam keterangannya, Sabtu (24/2/2024).

Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menganggap, hak angket adalah upaya untuk membuktikan dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Namun, jika tak terbukti, publik mengetahui bahwa berbagai kecurigaan yang muncul tidak terjadi.

“Jadi kalau ada angket, kalau memang tidak ada soal, itu bagus menghilangkan kecurigaan,” ucap dia.

Baca juga: Hidayat Nur Wahid Sebut Hak Angket DPR Tak Boleh Dilarang demi Menjaga Demokrasi

Kalla meminta tak perlu ada pihak yang merasa resah atas pengajuan hak angket ini.

Sebab, keresahan berlebih dari sejumlah pihak malah menimbulkan anggapan bahwa kecurangan Pemilu 2024 memang benar terjadi.

“Jalani saja tidak usah khawatir. Kalau memang tidak apa-apa, bisa jadi klarifikasi. Kecuali ada apa-apa, tentu takut jadinya,” ujar Kalla.

Yusril sebut tidak bisa digunakan

Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pihak yang kalah di pilpres seharusnya mencari penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan menggunakan hak angket DPR.

Yusril mengatakan, pihak yang kalah tidak dapat menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024.

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya, tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril saat dimintai konfirmasi, Kamis (22/2/2024).

Baca juga: Yusril: Apakah Pihak yang Kalah Dapat Pakai Hak Angket Selidiki Kecurangan Pemilu? Tidak

Yusril mengatakan, berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, salah satu kewenangan MK yakni mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Menurut dia, para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK.

Hal ini, kata dia, dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan sehingga tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan. Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tutur dia.

Yusril mengatakan, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres 2024 akan menciptakan kepastian hukum.

Sementara itu, penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang berpotensi berujung menimbulkan chaos.

"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril.


Sementara itu, Yusril menekankan, pernyataan pendapat itu harus diputus MK.

Jika MK setuju dengan DPR maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR, tergantung MPR mau apa tidak.

"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com