Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serba-serbi Hak Angket: Din Syamsuddin Dorong Pemakzulan, Jimly Anggap Hanya Gertakan, dan Tanggapan Yusril

Kompas.com - 26/02/2024, 07:43 WIB
Adhyasta Dirgantara,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana hak angket DPR yang digulirkan oleh capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024 memicu beragam reaksi dari sejumlah tokoh di Tanah Air.

Di satu sisi, ada tokoh yang mendukung agar hak angket DPR tersebut direalisasikan untuk menyelidiki kecurangan pemilu.

Di sisi lain, ada tokoh yang menyatakan hak angket DPR tidak bisa digunakan untuk pemilu karena sudah ada jalurnya sendiri, yakni melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Menimbang Peluang Bergulirnya Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu

Meski begitu, ada pula tokoh yang menganggap hak angket DPR yang digulirkan Ganjar ini hanya sekadar gertakan.

Adapun saat ini, wacana hak angket yang Ganjar gulirkan ini turut didukung oleh kubu pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Din Syamsuddin bawa 100 tokoh dukung hak angket

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin memimpin 100 tokoh yang menolak hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk mendukung usulan hak angket DPR.

"Mendukung usulan berbagai pihak agar DPR-RI menggunakan hak angket (penyelidikan) terhadap penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2024 agar proses pengusutan kecurangan bersifat komprehensif, baik hukum maupun politik," kata Din dalam konferensi pers di sebuah hotel, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2024).

Din berharap, hak angket DPR itu bertujuan menegakkan demokrasi hukum.

Baca juga: Pengamat: Sulit Dipungkiri Ada Tendensi Membendung Hak Angket dengan Dilantiknya AHY Jadi Menteri

Selain itu, 100 tokoh ini mengharapkan hak angket berujung pada penghukuman bagi pelaku kecurangan Pilpres.

Salah satu hukuman yang mereka inginkan yaitu pemakzulan Presiden Joko Widodo.

"Dari hasil penggunaan hak angket tadi, kami mendukung setiap penegakan konsekuensi hukum atas para pelaku pelanggaran termasuk jika berakibat pada pemakzulan Presiden," ujar dia.

Lebih lanjut, Din mengungkapkan bahwa Pilpres 2024 memang mengalami kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Hal ini, menurut dia, ditandai dengan tujuh kecurangan.

"Pertama, adanya daftar pemilih tetap/DPT bermasalah melibatkan sekitar 54 juta pemilih (seperti yang diajukan oleh pihak tertentu ke KPU) yang tidak diselesaikan dengan baik," tutur Din.

Kedua, terjadinya berbagai bentuk intimidasi, tekanan bahkan ancaman terhadap rakyat, dan pengerahan aparat pemerintahan untuk mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Baca juga: [POPULER NASIONAL] Kala Moeldoko dan AHY Satu Kubu | Mungkinkah Hak Angket Berujung Pemakzulan Jokowi?

Ketiga, 100 tokoh turut menyoroti pemberian bantuan sosial (bansos) menjelang hari pencoblosan dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Pemberian bansos itu, menurut Din, memang diarahkan kepada pemilih untuk mendukung Prabowo-Gibran.

"Keberpihakan nyata Presiden dan jajarannya guna mendukung partai dan/atau paslon 02," ujar dia.

"Kelima, pencoblosan dini untuk paslon 02 di beberapa tempat, di dalam maupun di luar negeri (diberitakan luas di media massa)," kata Din.

Jimly anggap cuma gertakan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, wacana menggulirkan hak angket terkait dugaan kecurangan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanyalah gertakan politik.

Baca juga: Jimly Sebut Hak Angket Gertakan, Hidayat Nur Wahid: Itu Hak Konstitusional DPR

Jimly berpandangan, hak angket tidak berpengaruh karena digulirkan dalam waktu yang terbatas, yakni 8 bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang.

"Hak angket itu kan, hak interpelasi, hak angket, penyelidikan, ya waktu kita 8 bulan ini sudah enggak sempat lagi, ini cuma gertak-gertak politik saja," kata Jimly di kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/2/2024).

Jimly menuturkan, ada banyak saluran yang dapat ditempuh apabila merasa ada kecurangan pada pelaksanaan pemilu, yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke MK.

Lagipula, pakar hukum tata negara ini menilai bahwa dugaan kecurangan tersebut tidak hanya menguntungkan satu kubu, tapi ketiga kandidat di Pilpres 2024.

"Jadi jangan karena kemarahan lalu menggerakkan kebencian kolektif lalu menggerakkan gerakan untuk pemakzulan atau apalah namanya itu," ujar dia.

Jimly juga menyarankan kepada semua kandidat untuk tidak menimbulkan keriuhan baru, malah sebaiknya memberi selamat kepada pasangan yang sudah unggul dalam hitung cepat sejumlah lembaga.

Sebab, hasil hitung cepat umumnya tidak berbeda dengan hasil perhitungan resmi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Kalaupun enggak mau memberikan ucapan selamat, tunggu sesudah keputusan KPU (beri) ucapan selamat, tapi jangan manas-manasin, tunggu dulu sabar, jangan manas-manasin," kata anggota DPD itu.

Baca juga: Awas, Ada Hak Angket

JK nilai semua pihak bakal diuntungkan

Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla (JK) mengatakan, pengajuan hak angket DPR RI soal dugaan kecurangan Pemilu 2024 bakal menguntungkan semua pihak.

Menurut dia, langkah itu bakal membuktikan pada publik soal tudingan apakah kecurangan itu terjadi atau tidak.

“Tentunya hak angket itu baik bagi kedua belah pihak, karena sekarang banyak isu bahwa (pemilu) ini ada masalah,” ujar Kalla dalam keterangannya, Sabtu (24/2/2024).

Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menganggap, hak angket adalah upaya untuk membuktikan dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Namun, jika tak terbukti, publik mengetahui bahwa berbagai kecurigaan yang muncul tidak terjadi.

“Jadi kalau ada angket, kalau memang tidak ada soal, itu bagus menghilangkan kecurigaan,” ucap dia.

Baca juga: Hidayat Nur Wahid Sebut Hak Angket DPR Tak Boleh Dilarang demi Menjaga Demokrasi

Kalla meminta tak perlu ada pihak yang merasa resah atas pengajuan hak angket ini.

Sebab, keresahan berlebih dari sejumlah pihak malah menimbulkan anggapan bahwa kecurangan Pemilu 2024 memang benar terjadi.

“Jalani saja tidak usah khawatir. Kalau memang tidak apa-apa, bisa jadi klarifikasi. Kecuali ada apa-apa, tentu takut jadinya,” ujar Kalla.

Yusril sebut tidak bisa digunakan

Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pihak yang kalah di pilpres seharusnya mencari penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan menggunakan hak angket DPR.

Yusril mengatakan, pihak yang kalah tidak dapat menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024.

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya, tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril saat dimintai konfirmasi, Kamis (22/2/2024).

Baca juga: Yusril: Apakah Pihak yang Kalah Dapat Pakai Hak Angket Selidiki Kecurangan Pemilu? Tidak

Yusril mengatakan, berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, salah satu kewenangan MK yakni mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Menurut dia, para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK.

Hal ini, kata dia, dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan sehingga tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan. Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tutur dia.

Yusril mengatakan, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres 2024 akan menciptakan kepastian hukum.

Sementara itu, penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang berpotensi berujung menimbulkan chaos.

"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril.


Sementara itu, Yusril menekankan, pernyataan pendapat itu harus diputus MK.

Jika MK setuju dengan DPR maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR, tergantung MPR mau apa tidak.

"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Nasional
Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com