Kesederhanaan bisa ditunjukan meskipun tanpa perlu melakukan kampanye. Justru spontanitas menjadi kunci dalam perebutan suara publik.
Komeng adalah bukti dari sisi lain dunia politik Tanah Air. Normalitas perlahan akan ditinggali oleh masyarakat. Sehingga sesuatu yang baru dan “nyeleneh” bisa menjadi peluru untuk memenangkan kompetisi elektoral.
Komeng menunjukan bahwa menjadi politisi tidak melulu soal glamoritas. Kesederhanaan bisa menjadi pemikat jitu dalam menarik simpati rakyat.
Ini merupakan fenomena unik dalam perhelatan politik Tanah Air. Tidak ada transaksi politik uang, tidak ada kongkalikong kekuasaan, bahkan tidak ada beban ketika tidak dipilih rakyat.
Dari perspektif Komeng bisa dilihat bahwa politisi konvensional hari ini cukup lucu. Menggunakan jalan pintas untuk dapat kekuasaan.
Komeng melakukan sebaliknya tanpa ada pendekatan politik praktis untuk menang kompetisi. Politik tidak selalu saling senggol atau saling curiga seperti anggapan banyak orang. Menjadi anggota Dewan bisa gratis hanya bermodal foto unik.
Keterlibatan menjadi seorang legislatif dengan tujuan mewujudkan hari komedi merupakan tujuan mulia.
Setiap politisi selalu memiliki kepentingan apapun bentuknya. Komeng datang dengan “tas kosong”. Tampah beban utang, beban konspirasi, bahkan beban melayani penguasa.
Tidak bisa ditutup kemungkinan bahwa parleman lebih menarik karena dewa komedi sudah di sana. Kebijakan tidak lagi soal kepentingan untuk memenuhi kantong pribadi. Namun berubah menjadi hal baik.
Apalagi nuansa komedi di taruh dalam setiap proses pembuatan keputusan. Sepertinya, negara ini butuh komedian untuk bisa menyampaikan kritik kritis dengan cara sarkasme.
Siapa sangka tas kosong yang dibawa oleh Komeng berdampak besar bagi perolehan suaranya. Publik seperti digugah lebih memilih komedian jadi politisi daripada memilih politisi menjadi komedian di Senayan nanti.
Komeng selalu bikin heboh. Komeng selalu spontan, seperti brand untuk dirinya yang selalu jenaka dalam setiap pertemuan. Namun serius dalam pengambilan keputusan.
Politisi Tanah Air perlu belajar dari komeng bahwa kepentingan dan kekuasaan itu sifatnya sementara. Itu pun hanya 5 tahun.
Hasil pemilu menunjukan Komeng datang dengan tas kosong, tetapi pergi dengan tas berisi penuh suara rakyat. Ini seperti kisah lama ketika kebaikan selalu datang belakangan.
Caleg lain mulai “kepala sakit” dengan sepak terjang Komeng yang hampir tidak ada effort dalam memenangkan kontestasi DPD. Padahal saingannya di dapil Jawa Barat sangat kuat. Bahkan berpendidikan lebih tinggi dan lebih kaya dari Komeng.