Apa yang diungkapkan film tersebut adalah kebenaran yang sudah lama dibicarakan, disuarakan, dan diprotes di ruang-ruang publik.
Rentetan kisah taktik dan metode tuna akhlak untuk memenangkan pasangan tertentu, sudah berjalan sekian bulan ke belakang.
Tiap jengkal perjalanan yang dilewatinya, selalu meninggalkan jejak dan bau. Jejak kotor dan aroma tak sedap itulah yang diungkap. Apa itu salah?
"Dirty Vote", adalah karya jurnalistik, yang berikhtiar menjahit serpihan-serpihan kain yang terserak di mana-mana, menjadi sulaman utuh.
Biar rakyat ini maklum bahwa ada sesuatu yang salah dalam kehidupan kita. Ada sesuatu yang harus dihentikan. Harus ada perlawanan.
Diam adalah pembiaran, dan pembiaran hal salah dan melanggar moral dan aturan formal, adalah awal malapetaka bangsa.
Inilah yang disebut notoir feiten: sesuatu yang telah diketahui umum dan tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya di muka suatu persidangan pengadilan.
Karya anak bangsa ini, selain padat dengan pendekatan jurnalistik yang dijamin kebebasannya, juga surplus dengan motif kejujuran demi kebenaran.
Tidak ada fiksi yang dituangkan, tak ada wilayah jelajah imajinasi yang dilalui, nihil dalam itikad mencelakakan dan melumat harga diri seseorang.
Muatannya sangat jelas. Ia tidak sekadar bertutur getir tentang buramnya masa depan demokrasi. Ia tidak sekadar bersuara dan berpekik tentang niat buruk untuk mengakali kedaulatan rakyat.
Narasinya sangat runtut, dari satu rangkaian peristiwa ke rangkaian peristiwa lainnya. Yang hebat, tuturan film ini disempurnakan oleh angka statistik yang tak kuasa kita debat, apalagi menolaknya.
Itikad pembuat dan pelaku film ini, sangat tegas. Ingin menyampaikan kegelisahan hati nurani mereka, dan hati nurani rakyat. Betapa tidak, perangai politik kita menjelang pemilihan presiden/wakil presiden, terang-terangan mengebiri kedaulatan rakyat.
Penggiringan kehendak dengan melibatkan organ dan aparat negara, bukan lagi sekadar isyarat rontoknya kedaualatan rakyat itu, tetapi nyata-nyata sudah merontokkannnya.
Rakyat tidak diberi pilihan untuk menentukan kedaulatan dirinya, tetapi dipaksa, baik dengan pemberian materi, maupun intimidasi kejiwaan, untuk mencoblos calon tertentu, dan menampik calon-calon lainnya.
Metode-metode yang tak bermoral dan melanggar aturan baku itu, disusun rapi dan dibingkai dengan bukti statistik yang jelas.