TIGA anak bangsa, satu judul film, membuat republik geger. Lewat pemaparan mereka: Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar dalam film "Dirty Vote", kecurangan samar jadi terang benderang.
Pat gulipat akhlak culas yang disembunyikan, terkuak jelas. Ketiga anak bangsa tersebut, menghebohkan beberapa hari terakhir ini.
Inilah film yang paling menyedot banyak penonton hanya dalam beberapa hari. Sudah lebih sebelas juta orang menyaksikannya.
Apa yang salah dengan "Dirty Vote" ini?
Setelah dibicarakan banyak orang, pihak yang merasa dirugikan, spontan membuat kegaduhan. Pelbagai tudingan dialamatkan kepada para pelaku, produser dan sutradara film tersebut.
Mereka dituding memiliki motif politik. Maklum, sekarang ini musim politik lantaran menjelang pemilu, terutama pemilihan presiden/wakil presiden.
Cara berpikir kalangan yang protes tersebut, adalah, keadilan dan kebenaran boleh saja ditunda, bahkan dilenyapkan demi menjaga momentum politik. Demi memenangkan pasangan calon tertentu.
Keadilan dan kebenaran, ya, apa boleh buat, tidak memperoleh tempat untuk dibicarakan, apalagi untuk diikhtiarkan.
Segi momentum, justru film ini layak diberi penghargaan karena ia memberi peringatan kepada rakyat Indonesia untuk menyelamatkan demokrasi.
Ia memberitahu kita bahwa kondisi menjelang pemilu, terasa sekali adanya gelagat penguburan demokrasi. Aneka siasat tak bermoral dan tekor akhlah diperagakan untuk mencapai tujuan politik; terpilih menjadi presiden/wakil presiden.
Inilah saat yang terbaik untuk membantu rakyat menggunakan suara hatinya. Ini saat yang paling baik untuk menolong rakyat menunjukkan kedaulatannya bahwa mereka sangat dibutuhkan.
Karena itu, mereka harus menunjukkan taring kedaulatan mereka. Bukan disiasati agar mereka tidak berdaulat.
Lagi pula, bukankah harga yang telah kita bayar untuk menegakkan demokrasi lebih dua dekade silam, sangat mahal? Maka, sebaiknya harga yang dibayar itu kita tebus dengan memelihara demokrasi.
Dalam konteks ini, saya ingin menyampaikan bahwa Yang Mulia Presiden Jokowi, belum memiliki jejak terlibat dalam perjuangan penegakan demokrasi.
Yang Mulia Presiden Jokowi masuk kategori menikmati buah dari demokrasi yang diperjuangkan oleh orang lain. Sebagai penikmat, saya membayangkan, Presiden Jokowi memberi kontribusi untuk merawat demokrasi.
Apa yang diungkapkan film tersebut adalah kebenaran yang sudah lama dibicarakan, disuarakan, dan diprotes di ruang-ruang publik.
Rentetan kisah taktik dan metode tuna akhlak untuk memenangkan pasangan tertentu, sudah berjalan sekian bulan ke belakang.
Tiap jengkal perjalanan yang dilewatinya, selalu meninggalkan jejak dan bau. Jejak kotor dan aroma tak sedap itulah yang diungkap. Apa itu salah?
"Dirty Vote", adalah karya jurnalistik, yang berikhtiar menjahit serpihan-serpihan kain yang terserak di mana-mana, menjadi sulaman utuh.
Biar rakyat ini maklum bahwa ada sesuatu yang salah dalam kehidupan kita. Ada sesuatu yang harus dihentikan. Harus ada perlawanan.
Diam adalah pembiaran, dan pembiaran hal salah dan melanggar moral dan aturan formal, adalah awal malapetaka bangsa.
Inilah yang disebut notoir feiten: sesuatu yang telah diketahui umum dan tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya di muka suatu persidangan pengadilan.
Karya anak bangsa ini, selain padat dengan pendekatan jurnalistik yang dijamin kebebasannya, juga surplus dengan motif kejujuran demi kebenaran.
Tidak ada fiksi yang dituangkan, tak ada wilayah jelajah imajinasi yang dilalui, nihil dalam itikad mencelakakan dan melumat harga diri seseorang.
Muatannya sangat jelas. Ia tidak sekadar bertutur getir tentang buramnya masa depan demokrasi. Ia tidak sekadar bersuara dan berpekik tentang niat buruk untuk mengakali kedaulatan rakyat.
Narasinya sangat runtut, dari satu rangkaian peristiwa ke rangkaian peristiwa lainnya. Yang hebat, tuturan film ini disempurnakan oleh angka statistik yang tak kuasa kita debat, apalagi menolaknya.
Itikad pembuat dan pelaku film ini, sangat tegas. Ingin menyampaikan kegelisahan hati nurani mereka, dan hati nurani rakyat. Betapa tidak, perangai politik kita menjelang pemilihan presiden/wakil presiden, terang-terangan mengebiri kedaulatan rakyat.
Penggiringan kehendak dengan melibatkan organ dan aparat negara, bukan lagi sekadar isyarat rontoknya kedaualatan rakyat itu, tetapi nyata-nyata sudah merontokkannnya.
Rakyat tidak diberi pilihan untuk menentukan kedaulatan dirinya, tetapi dipaksa, baik dengan pemberian materi, maupun intimidasi kejiwaan, untuk mencoblos calon tertentu, dan menampik calon-calon lainnya.
Metode-metode yang tak bermoral dan melanggar aturan baku itu, disusun rapi dan dibingkai dengan bukti statistik yang jelas.
Kronologi waktunya dirangkai sedemikian rupa sehingga jelas benang merah dan tali temali antara kebijakan penguasa dengan kehendak untuk memenangkan paslon tertentu.
Para pelaku akal culas yang sangat mahir mempertontonkan kepiawaiannya berlaku tuna adab, sangat gamblang dipampangkan, lengkap dengan akar-akar serta alur mereka, dari hulu hingga ke hilir.
Lantas, apa yang salah dengan film "Dirty Vote" ini? Tak ada yang salah. Tak ada yang keliru. Tak ada pelanggaran.
Yang salah adalah standar moral kita. Yang salah adalah standar akhlak kita. Yang salah adalah itikad baik kita untuk memberi kedaulatan kepada rakyat.
Dalam kasus hukum di Mahkamah Aguing Amerika Serikat pada 1964, patut kita renungi. Kasus ini melibatkan koran New York Times, melawan Sullivan, seorang pegawai kantor tatapraja KJota Montgomery di negara bagian Alabama.
Sulivan menuntut koran tersebut dengan dalih pencemaran nama baik dan menyebarkan berita bohong, karena sejumlah data yang disajikannya tidak akurat.
Misalnya, para mahasiswa, peserta pawai protes, bernyanyi lagu My Country, Tis of Thee, padahal para mahasiswa tersebut bernyanyi The Star Spangled Banner.
Selanjutnya, Sullivan berdalil bahwa pemberitaan koran mengatakan, seluruh mahasiswa Alabama turun ke jalan-jalan melakukan protes. Padahal, kata Sullivan, hanya sebagian mahasiswa yang melakukannya.
Tuntutan Sullivan tersebut diterima di Pengadilan Alabama dan mewajibkan The New York Times membayar denda sebanyak 500.000 dollar Amerika saat itu.
The New York Times kasasi. Hakim Agung Mahkamah Agung Amerika Serikat, William J. Brennam yang ikut menangani kasus ini, mengatakan: “Perdebatan atau pembicaraan tentang isu yang dibicarakan oleh publik, semestinya tidak berhenti, tetapi harus berlanjut dan kian dibuka seluas mungkin termasuk yang bisa memancing semangat perlawanan sekalipun. Dan memang, isu-isu publik itu selalu harus menyakitkan dan merupakan serangan langsung terhadap publik figur atau orang-orang yang sedang memegang kekuasaan.”
Lebih lanjut, Brennam menguraikan, “Kekeliruan pernyataan adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari dalam perdebatan publik, bahkan kesalahan pernyataan sekalipun tetap harus dilindungi jika kebebasan mengemukakan opini ingin ditegakkan.”
The New York Times memenangkan perkara ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.