Betapa pun pada masa itu Indonesia tengah dibelit krisis barang-barang kebutuhan pokok, namun tidak ada yang gegabah menyebut KAPI sebagai kumpulan anak-anak yang ditelantarkan akibat tidak terpenuhinya hak mereka untuk tumbuh sehat.
Tiga nukilan di atas, tak bisa disanggah, adalah bukti betapa di negeri ini anak-anak ambil bagian secara aktif dalam gerakan-gerakan politik.
Jadi, justru merupakan panggilan kolektif kepada setiap orang yang cinta negeri ini agar tidak abai sejarah, sekaligus terus memupuk etos anak-anak agar senantiasa bergelora setiap kali berhadapan dengan situasi krisis di Tanah Air.
Tugas kolektif itu tampaknya tidak mudah. Sulit untuk menutup mata bahwa kebiasaan otak berpikir serba instan dan jangka pendek (baca tulisan saya, Menunggu Sesi Debat Capres Bertema Anak, di Kompas.com, 17-1-2024), jangan-jangan telah menyurutkan semangat juang anak-anak Indonesia sekian derajat.
Kedua, perlukah ke depan kancah politik disterilkan dari anak-anak?
Ketika 17 Agustus tiba, semua orang bersukacita di tempat-tempat terbuka. Karnaval busana tradisional, kompetisi panjat pinang, adu pukul guling di atas kali, lomba balap karung, dan lainnya, merupakan kemeriahan tahunan yang juga menghadirkan anak-anak sebagai subjek utamanya.
Panas terik, air sungai yang keruh, dan kaki luka atau terkilir, tak pernah menjadi keluhan. Lantas, mengapa kini justru pawai partai politik atau pun kampanye calon presiden justru disikapi dengan penuh kegelisahan?
Boleh jadi karena perhelatan-perhelatan politik di lapangan terbuka penuh dengan umpatan dan narasi-narasi dusta (hoaks).
Dan sebagai konsekuensi dari psikologi massa, tidak ada satu orang pun yang tersentak lalu terpanggil untuk mengoreksi politisi yang lisannya lepas kontrol. Ironisnya, tindak-tanduk yang sesungguhnya jauh dari etika justru ditepuki riuh.
Akibatnya, sebagai bentuk penguatan positif (positive reinforcement), tepuk tangan dari satu panggung ke panggung berikutnya akan membuat sang politisi semakin salah kaprah.
Ia menganggap perilakunya yang niretik tidak bermasalah, justru disambut meriah, sehingga semakin vulgar dalam berkata-kata.
Bertitik tolak dari itu semua, semestinya muncul keinsafan bahwa politik tidak semestinya dijauhi. Namun tak bisa disangkal, sebagaimana buktinya tersebar di online dan media sosial, kata-kata kasar dan kebohongan dari sebagian politisi itulah yang membuat jagat politik menjadi keruh, sumpek, membodohi, dan berisiko negatif bagi anak-anak.
Kesempatan belajar untuk berpikir kritis dan berpidato secara sistematis tanpa mengesampingkan kesantunan, malah terkesampingkan oleh kosakata tak senonoh dan retorika manipulatif.
Bukan politik an sich yang semestinya dijauhi. Melainkan politisi-politisi tanpa martabat yang harus dipagari agar tidak mengotori forum-forum politik sebagai salah satu kesempatan mencerdaskan anak-anak.
Satu lagi. Pada tulisan terdahulu, saya mendorong KPAI untuk menyelenggarakan sesi debat khusus bagi capres-cawapres dengan tema seputar perlindungan anak.