Salin Artikel

Politik untuk Anak, Anak untuk Politik

Namun berkaca pada belasan bentuk pelanggaran hak anak yang berlangsung pada masa kampanye kali ini, sebagaimana diumumkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tampak betapa pada kenyataannya parpol dan aneka kegiatan berbasis massa yang diadakan oleh parpol justru menjadi momok yang perlu dijauhi oleh anak-anak.

Pernyataan KPAI juga mendatangkan dua implikasi lainnya. Pertama, seolah anak dan politik tidak memiliki pertalian historis apa pun.

Kedua, politik dan anak adalah dua dunia yang harus disekat seketat-ketatnya. Dua tafsiran sedemikian rupa memerlukan koreksi besar-besaran.

Pertama, benarkah Indonesia tidak memiliki catatan sejarah tentang masuknya anak-anak ke dunia politik?

Menukil buku-buku biografi Sukarno, berserak kisah tentang bagaimana Sukarno sejak usia anak-anak telah dikondisikan sedemikian rupa oleh guru politiknya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, agar melek politik.

Tidak sebatas dihadirkannya murid-murid senior di rumah kos-kosannya, serta deretan buku di sekolahnya, Tjokroaminoto juga sering mengajak Sukarno berkeliling melakukan kampanye-kampanye politik dari satu lapangan ke lapangan berikutnya.

Laiknya rapat akbar, pasti di situ hadir lautan manusia. Di bawah terik matahari pula. Apalagi jika pidato-pidato Tjokroaminoto disimak baik-baik. Isinya tak jauh-jauh dari propaganda untuk menumbuhkan jatidiri keindonesiaan sekaligus tantangan terhadap Pemerintah Belanda.

Jika dipadankan dengan diksi hari ini, maka barangkali perkataan-perkataan Tjokroaminoto kala itu mengandung “ujaran kebencian”.

Lukisan tentang peran anak-anak di belantara politik juga ada pada masa November 1945. Surabaya, yang akan membara dalam perang, semestinya dikosongkan. Orang lanjut usia, perempuan, dan anak-anak diarahkan untuk mencari tempat aman.

Namun sekian banyak anak-anak berusia remaja memilih ikut berlaga. Mereka bergabung ke dalam laskar-laskar perjuangan dengan gagahnya.

Kalangan yang hari ini nyinyir, bila dilontarkan mesin waktu ke masa pascakemerdekaan di Surabaya saat itu, mungkin akan menyebut situasi anak-anak itu sebagai pelibatan anak-anak dalam kekerasan.

Bergeser ke tahun enam puluhan, pasca pemberontakan G30S/PKI, kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintahan Sukarno tumbuh subur.

Salah satunya adalah Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI).

Mereka aktif turun ke jalan, mengangkat poster dan meneriakkan yel-yel mendesak pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengatasi kekacauan. Tritura lahir dari jeritan berbagai lapisan masyarakat, termasuk KAPI.

Betapa pun pada masa itu Indonesia tengah dibelit krisis barang-barang kebutuhan pokok, namun tidak ada yang gegabah menyebut KAPI sebagai kumpulan anak-anak yang ditelantarkan akibat tidak terpenuhinya hak mereka untuk tumbuh sehat.

Tiga nukilan di atas, tak bisa disanggah, adalah bukti betapa di negeri ini anak-anak ambil bagian secara aktif dalam gerakan-gerakan politik.

Jadi, justru merupakan panggilan kolektif kepada setiap orang yang cinta negeri ini agar tidak abai sejarah, sekaligus terus memupuk etos anak-anak agar senantiasa bergelora setiap kali berhadapan dengan situasi krisis di Tanah Air.

Tugas kolektif itu tampaknya tidak mudah. Sulit untuk menutup mata bahwa kebiasaan otak berpikir serba instan dan jangka pendek (baca tulisan saya, Menunggu Sesi Debat Capres Bertema Anak, di Kompas.com, 17-1-2024), jangan-jangan telah menyurutkan semangat juang anak-anak Indonesia sekian derajat.

Kedua, perlukah ke depan kancah politik disterilkan dari anak-anak?

Ketika 17 Agustus tiba, semua orang bersukacita di tempat-tempat terbuka. Karnaval busana tradisional, kompetisi panjat pinang, adu pukul guling di atas kali, lomba balap karung, dan lainnya, merupakan kemeriahan tahunan yang juga menghadirkan anak-anak sebagai subjek utamanya.

Panas terik, air sungai yang keruh, dan kaki luka atau terkilir, tak pernah menjadi keluhan. Lantas, mengapa kini justru pawai partai politik atau pun kampanye calon presiden justru disikapi dengan penuh kegelisahan?

Boleh jadi karena perhelatan-perhelatan politik di lapangan terbuka penuh dengan umpatan dan narasi-narasi dusta (hoaks).

Dan sebagai konsekuensi dari psikologi massa, tidak ada satu orang pun yang tersentak lalu terpanggil untuk mengoreksi politisi yang lisannya lepas kontrol. Ironisnya, tindak-tanduk yang sesungguhnya jauh dari etika justru ditepuki riuh.

Akibatnya, sebagai bentuk penguatan positif (positive reinforcement), tepuk tangan dari satu panggung ke panggung berikutnya akan membuat sang politisi semakin salah kaprah.

Ia menganggap perilakunya yang niretik tidak bermasalah, justru disambut meriah, sehingga semakin vulgar dalam berkata-kata.

Bertitik tolak dari itu semua, semestinya muncul keinsafan bahwa politik tidak semestinya dijauhi. Namun tak bisa disangkal, sebagaimana buktinya tersebar di online dan media sosial, kata-kata kasar dan kebohongan dari sebagian politisi itulah yang membuat jagat politik menjadi keruh, sumpek, membodohi, dan berisiko negatif bagi anak-anak.

Kesempatan belajar untuk berpikir kritis dan berpidato secara sistematis tanpa mengesampingkan kesantunan, malah terkesampingkan oleh kosakata tak senonoh dan retorika manipulatif.

Bukan politik an sich yang semestinya dijauhi. Melainkan politisi-politisi tanpa martabat yang harus dipagari agar tidak mengotori forum-forum politik sebagai salah satu kesempatan mencerdaskan anak-anak.

Satu lagi. Pada tulisan terdahulu, saya mendorong KPAI untuk menyelenggarakan sesi debat khusus bagi capres-cawapres dengan tema seputar perlindungan anak.

Kali ini, saya ingin merangsang kreativitas tim sukses masing-masing paslon untuk mengadakan acara desak, slepet, tembak, atau sejenisnya yang khususnya menghadirkan audiens anak-anak.

Saya sungguh-sungguh ingin menakar seberapa jauh calon pemimpin nasional fasih dalam berdialog dengan anak-anak, seberapa jauh mereka sadar terhadap kesulitan dan kebutuhan anak-anak, serta seberapa serius mereka akan mengarusutamakan ketahanan keluarga dan perlindungan anak-anak dalam pemerintahan kelak.

Tema anak harus—tak boleh ditawar—masuk menjadi salah satu warna utama dalam kepemimpinan nasional mendatang.

Unjuk kebolehan para politisi dan capres-cawapres bukan sebatas di penguasaan materi, tapi juga melalui keteladanan diri.

Melalui pendekatan-pendekatan yang terkonsep dengan baik, menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan, kiranya politik tidak akan lagi terasing dari anak-anak dan anak-anak tidak lagi dikondisikan alergi terhadap politik. Semoga.

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/31/06300041/politik-untuk-anak-anak-untuk-politik

Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Nasional
Amankan World Water Forum 2024 di Bali, Korlantas Kirim 1.532 Polantas Gabungan

Amankan World Water Forum 2024 di Bali, Korlantas Kirim 1.532 Polantas Gabungan

Nasional
Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Nasional
“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke