Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Seto Mulyadi
Ketua Umum LPAI

Ketua Umum LPAI; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma; Mantan Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham RI

Politik untuk Anak, Anak untuk Politik

Kompas.com - 31/01/2024, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DENGAN komitmen bahwa Indonesia berdemokrasi, maka semestinya tidak perlu ada ketakutan pada partai politik dan pada kampanye politik.

Namun berkaca pada belasan bentuk pelanggaran hak anak yang berlangsung pada masa kampanye kali ini, sebagaimana diumumkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tampak betapa pada kenyataannya parpol dan aneka kegiatan berbasis massa yang diadakan oleh parpol justru menjadi momok yang perlu dijauhi oleh anak-anak.

Pernyataan KPAI juga mendatangkan dua implikasi lainnya. Pertama, seolah anak dan politik tidak memiliki pertalian historis apa pun.

Kedua, politik dan anak adalah dua dunia yang harus disekat seketat-ketatnya. Dua tafsiran sedemikian rupa memerlukan koreksi besar-besaran.

Pertama, benarkah Indonesia tidak memiliki catatan sejarah tentang masuknya anak-anak ke dunia politik?

Menukil buku-buku biografi Sukarno, berserak kisah tentang bagaimana Sukarno sejak usia anak-anak telah dikondisikan sedemikian rupa oleh guru politiknya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, agar melek politik.

Tidak sebatas dihadirkannya murid-murid senior di rumah kos-kosannya, serta deretan buku di sekolahnya, Tjokroaminoto juga sering mengajak Sukarno berkeliling melakukan kampanye-kampanye politik dari satu lapangan ke lapangan berikutnya.

Laiknya rapat akbar, pasti di situ hadir lautan manusia. Di bawah terik matahari pula. Apalagi jika pidato-pidato Tjokroaminoto disimak baik-baik. Isinya tak jauh-jauh dari propaganda untuk menumbuhkan jatidiri keindonesiaan sekaligus tantangan terhadap Pemerintah Belanda.

Jika dipadankan dengan diksi hari ini, maka barangkali perkataan-perkataan Tjokroaminoto kala itu mengandung “ujaran kebencian”.

Lukisan tentang peran anak-anak di belantara politik juga ada pada masa November 1945. Surabaya, yang akan membara dalam perang, semestinya dikosongkan. Orang lanjut usia, perempuan, dan anak-anak diarahkan untuk mencari tempat aman.

Namun sekian banyak anak-anak berusia remaja memilih ikut berlaga. Mereka bergabung ke dalam laskar-laskar perjuangan dengan gagahnya.

Kalangan yang hari ini nyinyir, bila dilontarkan mesin waktu ke masa pascakemerdekaan di Surabaya saat itu, mungkin akan menyebut situasi anak-anak itu sebagai pelibatan anak-anak dalam kekerasan.

Bergeser ke tahun enam puluhan, pasca pemberontakan G30S/PKI, kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintahan Sukarno tumbuh subur.

Salah satunya adalah Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI).

Mereka aktif turun ke jalan, mengangkat poster dan meneriakkan yel-yel mendesak pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengatasi kekacauan. Tritura lahir dari jeritan berbagai lapisan masyarakat, termasuk KAPI.

Betapa pun pada masa itu Indonesia tengah dibelit krisis barang-barang kebutuhan pokok, namun tidak ada yang gegabah menyebut KAPI sebagai kumpulan anak-anak yang ditelantarkan akibat tidak terpenuhinya hak mereka untuk tumbuh sehat.

Tiga nukilan di atas, tak bisa disanggah, adalah bukti betapa di negeri ini anak-anak ambil bagian secara aktif dalam gerakan-gerakan politik.

Jadi, justru merupakan panggilan kolektif kepada setiap orang yang cinta negeri ini agar tidak abai sejarah, sekaligus terus memupuk etos anak-anak agar senantiasa bergelora setiap kali berhadapan dengan situasi krisis di Tanah Air.

Tugas kolektif itu tampaknya tidak mudah. Sulit untuk menutup mata bahwa kebiasaan otak berpikir serba instan dan jangka pendek (baca tulisan saya, Menunggu Sesi Debat Capres Bertema Anak, di Kompas.com, 17-1-2024), jangan-jangan telah menyurutkan semangat juang anak-anak Indonesia sekian derajat.

Kedua, perlukah ke depan kancah politik disterilkan dari anak-anak?

Ketika 17 Agustus tiba, semua orang bersukacita di tempat-tempat terbuka. Karnaval busana tradisional, kompetisi panjat pinang, adu pukul guling di atas kali, lomba balap karung, dan lainnya, merupakan kemeriahan tahunan yang juga menghadirkan anak-anak sebagai subjek utamanya.

Panas terik, air sungai yang keruh, dan kaki luka atau terkilir, tak pernah menjadi keluhan. Lantas, mengapa kini justru pawai partai politik atau pun kampanye calon presiden justru disikapi dengan penuh kegelisahan?

Boleh jadi karena perhelatan-perhelatan politik di lapangan terbuka penuh dengan umpatan dan narasi-narasi dusta (hoaks).

Dan sebagai konsekuensi dari psikologi massa, tidak ada satu orang pun yang tersentak lalu terpanggil untuk mengoreksi politisi yang lisannya lepas kontrol. Ironisnya, tindak-tanduk yang sesungguhnya jauh dari etika justru ditepuki riuh.

Akibatnya, sebagai bentuk penguatan positif (positive reinforcement), tepuk tangan dari satu panggung ke panggung berikutnya akan membuat sang politisi semakin salah kaprah.

Ia menganggap perilakunya yang niretik tidak bermasalah, justru disambut meriah, sehingga semakin vulgar dalam berkata-kata.

Bertitik tolak dari itu semua, semestinya muncul keinsafan bahwa politik tidak semestinya dijauhi. Namun tak bisa disangkal, sebagaimana buktinya tersebar di online dan media sosial, kata-kata kasar dan kebohongan dari sebagian politisi itulah yang membuat jagat politik menjadi keruh, sumpek, membodohi, dan berisiko negatif bagi anak-anak.

Kesempatan belajar untuk berpikir kritis dan berpidato secara sistematis tanpa mengesampingkan kesantunan, malah terkesampingkan oleh kosakata tak senonoh dan retorika manipulatif.

Bukan politik an sich yang semestinya dijauhi. Melainkan politisi-politisi tanpa martabat yang harus dipagari agar tidak mengotori forum-forum politik sebagai salah satu kesempatan mencerdaskan anak-anak.

Satu lagi. Pada tulisan terdahulu, saya mendorong KPAI untuk menyelenggarakan sesi debat khusus bagi capres-cawapres dengan tema seputar perlindungan anak.

Kali ini, saya ingin merangsang kreativitas tim sukses masing-masing paslon untuk mengadakan acara desak, slepet, tembak, atau sejenisnya yang khususnya menghadirkan audiens anak-anak.

Saya sungguh-sungguh ingin menakar seberapa jauh calon pemimpin nasional fasih dalam berdialog dengan anak-anak, seberapa jauh mereka sadar terhadap kesulitan dan kebutuhan anak-anak, serta seberapa serius mereka akan mengarusutamakan ketahanan keluarga dan perlindungan anak-anak dalam pemerintahan kelak.

Tema anak harus—tak boleh ditawar—masuk menjadi salah satu warna utama dalam kepemimpinan nasional mendatang.

Unjuk kebolehan para politisi dan capres-cawapres bukan sebatas di penguasaan materi, tapi juga melalui keteladanan diri.

Melalui pendekatan-pendekatan yang terkonsep dengan baik, menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan, kiranya politik tidak akan lagi terasing dari anak-anak dan anak-anak tidak lagi dikondisikan alergi terhadap politik. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com