Impor alutsista harus dilakukan dengan diferensiasi asal negara, jenis barang, dan usia barang.
Berdasarkan data, nilai dan volume impor alutsista Indonesia periode 2018-2023 cenderung fluktuatif.
Hingga Mei 2023, impor alutsista Indonesia senilai 128,18 juta dollar AS (naik 28,70 persen YoY) atau sebanyak 1,16 ribu ton (naik 35,69 persen YoY) jika dibandingkan 2022 senilai 311,21 juta dollar AS.
Kondisi di atas membuat SIPRI menjadikan Indonesia menempati peringkat ke-16 negara importir senjata terbesar di dunia untuk periode 2012–2016 dan 2017–2021.
Langkah impor juga diambil karena adanya kebutuhan beragam atas alutsista yang tidak bisa dipenuhi sendiri oleh industri pertahanan nasional.
Misalnya, kendaraan lapis baja, tank, sistem artileri, jet tempur, helikopter serang, kapal perang hingga kapal selam dan rudal peluncur yang sifatnya berteknologi tinggi. Itu sebabnya, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pembelian seperti Rafale, KF-21, dan Mirage 2000.
Belum lagi pertimbangan lainnya seperti dinamika ancaman yang semakin kompleks, kondisi geopolitik lingkungan strategis yang penuh dengan konflik, keharusan membangun Confidence Building Measures (CBM) di tengah banyaknya kerja sama kolektif pertahanan, cyber warfare, referent object dari keamanan, kebutuhan postur pertahanan dalam memadukan teknologi serta konsep operasi perang inovatif (Revolution in Military Affairs).
Oleh sebab itu, meski anggaran pertahanan Indonesia sudah besar dengan utang luar negeri yang juga meningkat, hal itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pertahanan secara utuh; mulai dari manajemen operasional, profesionalisasi prajurit TNI, sumber daya pertahanan, riset, hingga modernisasi alutsista, beserta sarpras pertahanan lainnya.
Perlu ada pemahaman bahwa pertahanan akan selalu berbanding lurus dengan upaya negara untuk meningkatkan posisi tawar dalam kancah internasional.
Anggaran pertahanan tidak boleh dilihat sebagai biaya semata, melainkan sebagai investasi masa depan yang secara langsung akan berdampak pada upaya negara untuk mencapai kepentingan nasional.
Risikonya adalah komposisi lebih di APBN atau utang luar negeri. Anggaran Pertahanan tidak dapat disubtitusi dengan anggaran lainnya, apalagi jika ingin mencapai kedaulatan dalam hal industrial skills, capacities, capabilities dan technology untuk benar mencapai keberlangsungan operational independences dalam pemenuhan alustsista.
Sehingga akhirnya kondisi tersebut akan menciptakan satu penguatan eksistensi negara dalam kancah regional dan global.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.