Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
SOROT POLITIK

Ekonom: Greenflation Bukan Pertanyaan Receh-receh

Kompas.com - 22/01/2024, 10:35 WIB
Palupi Annisa Auliani,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Minggu (21/1/2024) malam, pertanyaan yang diajukan oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka disebut sebagai pertanyaan jebakan dan receh-receh oleh salah satu kandidat lain.

Di antara pertanyaan yang diajukan Gibran dalam debat tersebut adalah soal greenflation alias inflasi hijau.

"Greenflation bukan sebuah istilah jebakan dalam debat, apalagi sebuah konsep receh-receh," kata ekonom Dradjad H Wibowo, Senin (22/1/2024).

Pandangan seperti itu, kata Dradjad, menunjukkan ketidakpahaman terhadap transisi ke ekonomi hijau, termasuk ke energi bersih dan penerapan praktik kelestarian.

"Tidak paham tantangan dan hambatan apa saja yang membuat transisi ke ekonomi hijau sangat lambat di dunia. Tidak paham risiko politik bahkan gejolak sosial yang bisa muncul akibat transisi tersebut," kata dia.

Baca juga: Memahami Greenflation atau Inflasi Hijau

Greenflation adalah istilah "jaman now" yang makin sering dipakai ilmuwan, pegiat, pebisnis, bahkan politisi yang terlibat dalam urusan kelestarian atau keberlanjutan (sustainability).

"Dipakai mereka yang terlibat dalam urusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," tegas Dradjad.

Secara sederhana, tutur Dradjad, greenflation atau inflasi hijau merujuk pada kenaikan harga sebagai akibat dari mahalnya biaya transisi di atas. Dengan kata lain, inflasi hijau merupakan salah satu bentuk cost-push inflation.

Sebagai contoh, lanjut Dradjad, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat (AS). Potensi panas bumi Indonesia setara 23.966 Mega Watt (MW).

“Saat ini kita baru memanfaatkan 2.343 MW, atau hanya sekitar 9,8 persen dari potensi tersebut,” ujar Dradjad.

Hambatan terbesarnya, sebut anggota Dewan Pakar Prabowo-Gibran ini adalah biaya. Beban biaya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) per kilo Watt hour (kWh) itu sekitar 50 persen lebih mahal dari PLTU batu bara.

“Bahkan, dalam berbagai estimasi lainnya, biayanya bisa dua kali lipat lebih,” imbuh Dradjad yang juga adalah Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Baca juga: Jadi Sorotan Saat Debat Cawapres, Apa Itu Greenflation?

Anggap Indonesia melakukan pensiun dini terhadap semua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, dan menggantinya ke pembangkit listrik tenaga panas bumu (PLTP), ungkap Dradjad. Dalam kondisi biaya saat ini, maka biaya listrik nasional akan naik minimal 50 persen.

"Karena hampir semua aktivitas memerlukan listrik, bisa dibayangkan seberapa besar dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Harga-harga melonjak drastis," papar Dradjad.

Dengan kondisi tersebut, kata Dradajd, hampir semua pelaku bisnis dipastikan menjerit. Bukan hanya itu, ujar dia, rakyat bisa marah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com