Kemudian Islam adalah agama yang sesuai dengan kemanusiaan (fitrah), QS. al-Rum: 30, dan umat Islam merupakan umat yang moderat (washatan), QS. Al-Baqarah: 143.
Selanjutnya ada juga ayat yang memerintahkan umat Islam untuk berdiri di sisi kebenaran (hanîf), QS. al-Rum: 30, serta menegakkan keadilan (QS. al-Ma'idah: 8) dan kebaikan untuk menjadi yang terbaik (khar ummah), QS. Ali 'Imran: 110.
Ayat-ayat tersebut mempertegas perlunya sikap keberagamaan moderat (tawassuth) untuk digambarkan sebagai masyarakat wasathan.
Setidaknya ada empat hal yamg menjadi nilai moderasi beragama dalam Islam, yaitu pertama, Wassatiyah (sikap berada di tengah).
Konsep Wassatiyah merupakan ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk mengambil sikap tengah dan menghindari ekstremisme. Firman Allah dalam Al-Qur'an menyebutkan, "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang moderat, supaya kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (Surah Al-Baqarah: 143).
Kedua, toleransi dan keanekaragaman agama. Islam menganjurkan umatnya untuk menghormati dan menghargai keberagaman agama.
Firman Allah menyatakan, "Bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku" (Surah Al-Kafirun: 6). Ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memeluk agama masing-masing.
Ketiga, bagaimana Islam menjadi agama yang Rahmatan lil-Alamin (rahmat bagi semesta alam). Hal ini menunjukkan bahwa Islam diutuskan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Umat Islam diminta untuk memberikan kontribusi positif bagi kehidupan dan lingkungan sekitarnya, menciptakan kedamaian, dan mendorong kesejahteraan bersama.
Keempat, perdamaian dan keadilan. Islam menganjurkan perdamaian dan keadilan sebagai nilai-nilai yang tinggi. Mendorong penyelesaian konflik dengan cara damai dan adil adalah prinsip utama dalam Islam.
Perguruan tinggi memiliki peran sangat strategis dalam pengembangan keilmuan dan riset dasar memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat.
Proses pendidikan pada perguruan tinggi tidak hanya sebuah ‘ritual’ transfer of knowledge maupun transfer of value di antara mahasiswa dan dosen saja. Namun bagaimana perguruan tinggi dapat menjadi sarana representatif dalam melakukan berbagai aktifitas kegiatan Tri Dharma yang menjadi pilar-pilar perguruan tinggi.
Perguruan tinggi seyogyanya memiliki kepentingan dan visi yang sama dalam rangka menyeleraskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyelenggaraan pendidikan (pendidikan dan pengajaran) berdasarkan kebangsaan Indonesia dengan cara ilmiah.
Adapun tujuan umum perguruan tinggi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1961 di antaranya, pertama membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan Makmur, materiil, dan spiritual.
Kedua, menyiapkan tenaga cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan.
Ketiga, melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kehidupan masyarakat.
Dalam rangka menghadapi era globalisasi dan multikulturalisme saat ini, perguruan tinggi sebagai miniatur dari masyarakat tentunya memiliki peran sangat strategis menjadi sarana yang efektif dalam melakukan percepatan terhadap pemahaman di kalangan mahasiswa terkait kemajemukan (pluralitas), multikuturalisme.
Berbeda pendapat, diskusi dan berdebat dengan menunjukan argumentasi dan data yang dapat dipertanggung jawabkan tentunya sudah menjadi pemandangan biasa dan menjadi ciri khas mahasiswa sebagai kaum intelektual dan agen perubahan sosial.
Oleh sebab itu, mahasiswa harus terbiasa dan terlatih dalam menghadapi berbagai pendapat yang saling berseberangan dengan mengedepankan sikap yang inklusif dan toleran. Boleh jadi perbedaan tersebut justru semakin memperkaya perspektif dalam melihat berbagai persoalan.
Namun menjadi hal yang cukup mengejutkan, manakala hasil riset yang dipublikasikan oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, yang berjudul Menakar Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi (11/12/2019) yang menemukan sebagian kampus di Indonesia, mahasiswanya terpapar radikalisme.
Penelitian Setara Institut (2019) juga menyebutkan 10 perguruan tinggi negeri ternama terpapar paham radikalisme.
Meskipun sebagaian akademisi merasa ragu terhadap data tersebut dengan alasan penelitian yang dilakukan terlalu menyederhanakan dalam melihat masalah.
Mereka juga menyebutkan pemerintah terlalu paranoid dalam melihat fenomena radikalisme di perguruan tinggi.
Namun yang perlu digaris bawahi dan menjadi catatan bersama kita adalah bibit-bibit sikap intoleran dan radikalisme tidak boleh dibiarkan tumbuh sumbur di lingkungan kampus atau perguruan tinggi.
Hal ini mengingat kampus merupakan center of excellent bagi terciptanya insan akademis dan ilmuan yang tentunya lebih mengedepankan objektifitas, rasionalitas dan scientific dalam memandang setiap permasalahan. Bukan menjadi agen-agen yang meyebarkan virus sikap intoleransi dan radikalisme.
Tentunya kita juga harus lebih arif dan proporsional memandang persoalan di atas, yakni sikap intolerasi dan radikalisme yang timbul di lingkungan kampus.
Faktor input mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan lingkungan mereka dibesarkan tentu sangat memengaruhi cara pandang mahasiswa.
Penelitian dari Mun’im Sirri juga memperlihatkan bahwa faktor homogenitas sekolah dan model pengajaran pandangan agama siswa secara monolitik turut berkontribusi dalam membentuk pandangan agama siswa.
Faktor interaksi dengan kelompok yang heterogen akan membuka pikiran para siswa. Sementara pergaulan yang eksklusif dan tafsir yang monolitik potensial membuat siswa berpandangan eksklusif dan sebaliknya.
Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di mana informasi dengan mudah didapatkan dari berbagai media, terutama media elektronik dan internet seperti saat ini, tentu menjadikan segala informasi langsung diadopsi begitu saja, tanpa melakukan pengujian melalui diskusi atau sharing, dan meng-crosscheck dengan pihak yang berkompeten atau ahli di bidangnya.
Oleh sebab itulah, perguruan tinggi harus menjadikan hal tersebut sebagai early warning system dan merespons dengan cepat.
Fenomena bubble algorithm juga harus menjadi perhatian, kerena cenderung membuat orang berpandangan sempit (echo chamber) karena digiring oleh algoritma pada satu pandangan saja di tengah informasi yang berlimpah.
Oleh sebab itu, kampus harus mampu menggabungkan diversifikasi sumber informasi yang diakses oleh mahasiswa, agar mereka tidak terjebak ke dalam bubble algorithm yang membuat mereka menjadi lebih eksklusif.
Perguruan tinggi tidak boleh menjadi ‘menara gading’ yang menjulang tinggi, namun teralineasi dengan kehidupan masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.