Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof Dr H Syarif, S.Ag., MA
Rektor

Rektor IAIN Pontianak

Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi

Kompas.com - 08/01/2024, 18:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA Negara majemuk. Berbagai aspek kemajemukan bangsa Indonesia adalah keniscayaan dan sunatullah yang harus diterima.

Secara geografis, bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.001.

Pada ribuan pulau tersebut dihuni kurang lebih 273,87 juta jiwa penduduk Indonesia. Sebanyak 238,09 juta jiwa atau sekitar 86,93 persen di antaranya menganut agama Islam; 20,45 juta jiwa (7,47 persen) memeluk agama Kristen; 8,43 juta jiwa (3,08 persen) beragama Katolik, 4,67 juta jiwa (1,71 persen) beragama Hindu; 2,03 juta jiwa (0,74 persen) beragama Buddha; 73.630 jiwa (0,03 persen) memeluk agama Konghucu, serta 126.510 jiwa (0,05 persen) menganut aliran kepercayaan.

Kemajemukan bangsa Indonesia terlihat dari suku bangsa di dalamnya. Berdasarkan data BPS, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa.

Kemudian tidak kurang 652 bahasa daerah di Indonesia, tidak termasuk dialek dan sub-dialeknya.

Sebagian bahasa daerah tersebut tentu juga memiliki jenis aksaranya sendiri, seperti Jawa, Sunda, Jawa Kuno, Sunda Kuno, Pegon, Arab-Melayuatau Jawi, Bugis-Makassar, Lampung, dan lainnya.

Sebagian aksara tersebut digunakan oleh lebih dari satu bahasa berbeda, seperti aksara Jawi yang juga digunakan untuk menuliskan bahasa Aceh, Melayu, Minangkabau, dan Wolio.

Kondisi geografis yang strategis membuat negara ini menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Tidak hanya terkait aktifitas perdagangan saja, namun berpengaruh pada silang kebudayaan.

Selain itu, ribuan pulau yang terpisah-pisah menjadikan masyarakat mengembangkan budayanya masing-masing. Kondisi alam juga turut memengaruhi terbentuknya kebudayaan dalam masyarakat, pakaian, kesenian, makanan, bentuk rumah, dan mata pencaharian.

Masyarakat juga adaptif terhadap hal-hal baru, termasuk budaya luar turut memengaruhi keberagamaan masyarakat Indonesia.

Di satu sisi kemajemukan Indonesia merupakan khazanah dan kekayaan bangsa, tetapi di sisi lain menjadi tantangan yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya.

Jika tidak bisa mengelolanya dengan baik, maka potensial menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, perlu upaya serius dari semua anak bangsa untuk berperan serta menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.

Indonesia bukan negara agama

Dalam rangka merekat keberagamaan tersebut, Indonesia memiliki Pancasila sebagai falsafah negara.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini diartikan sebagai pengakuan terhadap keberagaman agama tanpa mengutamakan satu agama tertentu.

Indonesia bukan negara agama tunggal, bukan pula negara yang didirikan berdasarkan agama tertentu. Kebebasan beragama dalam menjalankan perintah agama menurut keyakinan penganutnya dilindungi undang-undang (Pasal 29 UUD 1945).

Sejarah pembentukan bangsa Indonesia tidak didasarkan pada satu agama tertentu. Pembentukan negara Indonesia adalah hasil perjuangan kolektif semua anak bangsa berasal dari perjuangan melawan kolonialisme.

Proses ini melibatkan berbagai kelompok etnis dan agama untuk mencapai kemerdekaan. Artinya Indonesia adalah milik kita semua, milik semua agama dan suku bangsa yang terdapat di Indonesia.

Tanggal 28 Oktober 1928, pemuda-pemudi Indonesia menyelenggarakan Kongres Pemuda di Jakarta dan mengucapkan Sumpah Pemuda.

Sumpah ini menegaskan persatuan Indonesia dalam satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, tanpa memandang perbedaan suku, agama, atau ras.

Setelah Perang Dunia II, Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang kemudian diakui oleh sejumlah negara.

Meskipun Belanda mencoba mengembalikan kendali, perjuangan rakyat Indonesia melalui perang kemerdekaan berhasil meraih pengakuan internasional dan mengukuhkan kemerdekaan Indonesia.

Founding fathers merumuskan dasar negara melalui proses panjang. Dasar negara yang kemudian diresmikan dengan nama Pancasila, pertama kali diutarakan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam rangkaian sidang pertama BPUPKI.

Dalam proses perumusannya, lima asas yang terkandung dalam Pancasila mengalami pengembangan dan penyempurnaan sehingga menjadi dasar negara yang dikenal saat ini.

Perumusan dasar negara harus menghadapi beragam hal yang kompleks dan rumit. Namun, para pendiri negara tetap gigih merumuskan dasar negara untuk dapat mencapai berbagai kemajukan sehingga menjadi satu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berbagai pendapat dan usulan mengenai dasar negara telah tuntas dibahas oleh para pendiri bangsa. Mereka sepakat dasar negara bukan berdasarkan agama tertentu.

Bahkan pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar negara yang disebut Piagam Jakarta. Awalnya sila ke satu dari Pancasila adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”, kemudian berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” hingga saat ini.

Tentu hal ini merupakan bentuk sikap toleransi sangat tinggi yang telah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa.

Kita bisa membayangkan, jika para founding fathers bersikap tidak toleran, masing-masing menuruti egosentris, maka boleh jadi kita tidak dapat menyaksikan Indonesia seperti hari ini.

Kita bisa melihat bahwa Pancasila diinterpretasikan secara inklusif dan menghormati keberagaman agama.

Jadi, sejarah pembentukan bangsa Indonesia menunjukkan persatuan dibangun di atas dasar nasionalisme, perjuangan melawan penjajahan, dan semangat menciptakan negara yang adil dan merdeka tanpa memandang perbedaan agama tertentu.

Moderasi beragama

Sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, salah satu ikatannya adalah mendorong pengarusutamaan gagasan modersi beragama. Dalam buku Moderasi Kementerian Agama (2019) disebutkan bahwa Moderasi adalah jalan tengah. Moderasi bermakna "sesuatu yang terbaik".

Sesuatu yang ada di tengah biasanya berada di antara dua hal buruk. Contohnya adalah keberanian. Sifat berani dianggap baik karena ia berada di antara sifat ceroboh dan sifat takut. Sifat dermawan juga baik karena ia berada di antara sifat boros dan sifat kikir.

Secara bahasa moderasi memiliki arti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Dalam Mu’jam Maqayis, Ibnu Faris menyampaikan yang dimaksud dengan wasatiyah itu merupakan susuatu yang menunjukan pada keadilan dan tengah-tengah.

Pakar bahasa Raghib Al-Asfahani mengatakan, wasatiyah yang berasal dari kata wasat, yakni sesuatu yang berada di antara dua ekstremitas, sementara yang berasal dari awsat memiliki arti titik tengah.

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan.

Juga terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of dispute).

Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman.

Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah.

Sedangkan kata “moderator” berarti orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pembicaraan atau diskusi masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.

Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi “moderasi beragama”. Maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.

Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Dengan beragamnya masyarakat Indonesia, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing warga bangsa, termasuk dalam beragama.

Beruntung kita memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan saling memahami satu sama lain.

Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keragaman tentu bukanlah hal yang tidak mustahil terjadi.

Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu jenis saja.

Namun Dia memang Maha Menghendaki agar umat manusia beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain.

Selain agama dan kepercayaan beragam, dalam tiap-tiap agama terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama.

Dalam Islam, misalnya, terdapat berbagai mazhab fikih yang secara berbeda-beda memberikan fatwa atas hukum dan tertib pelaksanaan suatu ritual ibadah, seperti ritual shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya.

Keragaman itu memang muncul seiring dengan berkembangnya ajaran Islam dalam waktu, zaman, dan konteks berbeda-beda. Itulah mengapa kemudian dalam tradisi Islam dikenal ada ajaran yang bersifat pasti (qath'i), tidak berubah-ubah (tsawabit), dan ada ajaran yang bersifat fleksibel, berubah-ubah (dzanni) sesuai konteks waktu dan zamannya.

Agama selain Islam niscaya memiliki keragaman tafsir ajaran dan tradisi berbeda-beda. Pengetahuan tentang hal yang tidak dapat berubah dan hal yang mungkin saja berubah dalam ajaran setiap agama sungguh amat penting bagi pemeluk agama masing-masing.

Pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan seorang pemeluk agama akan bias mengambil jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan.

Sikap ekstrem biasanya akan muncul manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai cara pandang (perspektif) dalam beragama di Indonesia.

Dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya.

Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Untuk mengelola situasi keagamaan yang sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan.

Semangat moderasi beragama adalah mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif.

Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal.

Keduanya perlu dimoderasi. Karenanya, untuk menjadikan moderasi beragama sebagai solusi, kita perlu memiliki pemahaman yang benar tentang makna moderasi beragama tersebut.

Kerukunan umat beragama adalah tujuan

Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem (berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner) dalam beragama.

Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.

Moderasi bukan hanya diajarkan oleh Islam, tapi juga agama lain. Lebih jauh, moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga dan masyarakat hingga hubungan antarmanusia yang lebih luas.

Moderasi beragama akan menjadikan umat beragama untuk tidak mengurung diri, tidak eksklusif (tertutup), melainkan inklusif (terbuka), melebur, beradaptasi, bergaul dengan berbagai komunitas, serta selalu belajar di samping memberi pelajaran.

Dengan demikian, moderasi beragama akan mendorong masing-masing umat beragama untuk tidak bersifat ekstrem dan berlebihan dalam menyikapi keragaman, termasuk keragaman agama dan tafsir agama, melainkan selalu bersikap adil dan berimbang sehingga dapat hidup dalam sebuah kesepakatan bersama.

Dalam konteks bernegara, prinsip moderasi ini pula yang pada masa awal kemerdekaan dapat mempersatukan tokoh kemerdekaan yang memiliki ragam isi kepala, ragam kepentingan politik, serta ragam agama dan kepercayaan.

Semuanya bergerak ke tengah mencari titik temu (common platform) untuk bersama-sama menerima bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kesepakatan bersama.

Kerelaan dalam menerima NKRI sebagai bentuk final dalam bernegara dapat dikategorikan sebagai sikap toleran untuk menerima konsep negara-bangsa.

Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian.

Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.

Islam menekankan nilai-nilai moderasi dan pencegahan ekstremisme, serta mendorong umatnya untuk menjauhi perilaku fanatisme atau intoleransi.

Di dalam Al Quran, beberapa ayat menunjukkan misi Islam, ciri-ciri ajaran Islam, dan ciri-ciri umat Islam seperti Islam menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin), Q.S.al-Anbiya': 107.

Kemudian Islam adalah agama yang sesuai dengan kemanusiaan (fitrah), QS. al-Rum: 30, dan umat Islam merupakan umat yang moderat (washatan), QS. Al-Baqarah: 143.

Selanjutnya ada juga ayat yang memerintahkan umat Islam untuk berdiri di sisi kebenaran (hanîf), QS. al-Rum: 30, serta menegakkan keadilan (QS. al-Ma'idah: 8) dan kebaikan untuk menjadi yang terbaik (khar ummah), QS. Ali 'Imran: 110.

Ayat-ayat tersebut mempertegas perlunya sikap keberagamaan moderat (tawassuth) untuk digambarkan sebagai masyarakat wasathan.

Setidaknya ada empat hal yamg menjadi nilai moderasi beragama dalam Islam, yaitu pertama, Wassatiyah (sikap berada di tengah).

Konsep Wassatiyah merupakan ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk mengambil sikap tengah dan menghindari ekstremisme. Firman Allah dalam Al-Qur'an menyebutkan, "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang moderat, supaya kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (Surah Al-Baqarah: 143).

Kedua, toleransi dan keanekaragaman agama. Islam menganjurkan umatnya untuk menghormati dan menghargai keberagaman agama.

Firman Allah menyatakan, "Bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku" (Surah Al-Kafirun: 6). Ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memeluk agama masing-masing.

Ketiga, bagaimana Islam menjadi agama yang Rahmatan lil-Alamin (rahmat bagi semesta alam). Hal ini menunjukkan bahwa Islam diutuskan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Umat Islam diminta untuk memberikan kontribusi positif bagi kehidupan dan lingkungan sekitarnya, menciptakan kedamaian, dan mendorong kesejahteraan bersama.

Keempat, perdamaian dan keadilan. Islam menganjurkan perdamaian dan keadilan sebagai nilai-nilai yang tinggi. Mendorong penyelesaian konflik dengan cara damai dan adil adalah prinsip utama dalam Islam.

Perguruan tinggi sebagai model

Perguruan tinggi memiliki peran sangat strategis dalam pengembangan keilmuan dan riset dasar memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat.

Proses pendidikan pada perguruan tinggi tidak hanya sebuah ‘ritual’ transfer of knowledge maupun transfer of value di antara mahasiswa dan dosen saja. Namun bagaimana perguruan tinggi dapat menjadi sarana representatif dalam melakukan berbagai aktifitas kegiatan Tri Dharma yang menjadi pilar-pilar perguruan tinggi.

Perguruan tinggi seyogyanya memiliki kepentingan dan visi yang sama dalam rangka menyeleraskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyelenggaraan pendidikan (pendidikan dan pengajaran) berdasarkan kebangsaan Indonesia dengan cara ilmiah.

Adapun tujuan umum perguruan tinggi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1961 di antaranya, pertama membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan Makmur, materiil, dan spiritual.

Kedua, menyiapkan tenaga cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan.

Ketiga, melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kehidupan masyarakat.

Dalam rangka menghadapi era globalisasi dan multikulturalisme saat ini, perguruan tinggi sebagai miniatur dari masyarakat tentunya memiliki peran sangat strategis menjadi sarana yang efektif dalam melakukan percepatan terhadap pemahaman di kalangan mahasiswa terkait kemajemukan (pluralitas), multikuturalisme.

Berbeda pendapat, diskusi dan berdebat dengan menunjukan argumentasi dan data yang dapat dipertanggung jawabkan tentunya sudah menjadi pemandangan biasa dan menjadi ciri khas mahasiswa sebagai kaum intelektual dan agen perubahan sosial.

Oleh sebab itu, mahasiswa harus terbiasa dan terlatih dalam menghadapi berbagai pendapat yang saling berseberangan dengan mengedepankan sikap yang inklusif dan toleran. Boleh jadi perbedaan tersebut justru semakin memperkaya perspektif dalam melihat berbagai persoalan.

Namun menjadi hal yang cukup mengejutkan, manakala hasil riset yang dipublikasikan oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, yang berjudul Menakar Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi (11/12/2019) yang menemukan sebagian kampus di Indonesia, mahasiswanya terpapar radikalisme.

Penelitian Setara Institut (2019) juga menyebutkan 10 perguruan tinggi negeri ternama terpapar paham radikalisme.

Meskipun sebagaian akademisi merasa ragu terhadap data tersebut dengan alasan penelitian yang dilakukan terlalu menyederhanakan dalam melihat masalah.

Mereka juga menyebutkan pemerintah terlalu paranoid dalam melihat fenomena radikalisme di perguruan tinggi.

Namun yang perlu digaris bawahi dan menjadi catatan bersama kita adalah bibit-bibit sikap intoleran dan radikalisme tidak boleh dibiarkan tumbuh sumbur di lingkungan kampus atau perguruan tinggi.

Hal ini mengingat kampus merupakan center of excellent bagi terciptanya insan akademis dan ilmuan yang tentunya lebih mengedepankan objektifitas, rasionalitas dan scientific dalam memandang setiap permasalahan. Bukan menjadi agen-agen yang meyebarkan virus sikap intoleransi dan radikalisme.

Tentunya kita juga harus lebih arif dan proporsional memandang persoalan di atas, yakni sikap intolerasi dan radikalisme yang timbul di lingkungan kampus.

Faktor input mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan lingkungan mereka dibesarkan tentu sangat memengaruhi cara pandang mahasiswa.

Penelitian dari Mun’im Sirri juga memperlihatkan bahwa faktor homogenitas sekolah dan model pengajaran pandangan agama siswa secara monolitik turut berkontribusi dalam membentuk pandangan agama siswa.

Faktor interaksi dengan kelompok yang heterogen akan membuka pikiran para siswa. Sementara pergaulan yang eksklusif dan tafsir yang monolitik potensial membuat siswa berpandangan eksklusif dan sebaliknya.

Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di mana informasi dengan mudah didapatkan dari berbagai media, terutama media elektronik dan internet seperti saat ini, tentu menjadikan segala informasi langsung diadopsi begitu saja, tanpa melakukan pengujian melalui diskusi atau sharing, dan meng-crosscheck dengan pihak yang berkompeten atau ahli di bidangnya.

Oleh sebab itulah, perguruan tinggi harus menjadikan hal tersebut sebagai early warning system dan merespons dengan cepat.

Fenomena bubble algorithm juga harus menjadi perhatian, kerena cenderung membuat orang berpandangan sempit (echo chamber) karena digiring oleh algoritma pada satu pandangan saja di tengah informasi yang berlimpah.

Oleh sebab itu, kampus harus mampu menggabungkan diversifikasi sumber informasi yang diakses oleh mahasiswa, agar mereka tidak terjebak ke dalam bubble algorithm yang membuat mereka menjadi lebih eksklusif.

Perguruan tinggi tidak boleh menjadi ‘menara gading’ yang menjulang tinggi, namun teralineasi dengan kehidupan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Casis yang Diserang Begal di Jakbar Masuk Bintara Polri Lewat Jalur Khusus

Casis yang Diserang Begal di Jakbar Masuk Bintara Polri Lewat Jalur Khusus

Nasional
Polri Buru Dalang 'Illegal Fishing' Penyelundupan Benih Lobster di Bogor

Polri Buru Dalang "Illegal Fishing" Penyelundupan Benih Lobster di Bogor

Nasional
Sajeriah, Jemaah Haji Tunanetra Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci Setelah Menanti 14 Tahun

Sajeriah, Jemaah Haji Tunanetra Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci Setelah Menanti 14 Tahun

Nasional
BPK Periksa SYL Soal dugaan Auditor Minta Rp 12 M

BPK Periksa SYL Soal dugaan Auditor Minta Rp 12 M

Nasional
UKT Meroket padahal APBN Pendidikan Rp 665 T, Anggota Komisi X DPR: Agak Aneh...

UKT Meroket padahal APBN Pendidikan Rp 665 T, Anggota Komisi X DPR: Agak Aneh...

Nasional
Dewas KPK Akan Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Pekan Depan

Dewas KPK Akan Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Pekan Depan

Nasional
Revisi UU Kementerian Negara, Pakar: Tidak Salah kalau Menduga Terkait Bagi-bagi Jabatan, jika...

Revisi UU Kementerian Negara, Pakar: Tidak Salah kalau Menduga Terkait Bagi-bagi Jabatan, jika...

Nasional
Pembangunan Tol MBZ yang Dikorupsi Menyimpan Persoalan, Beton di Bawah Standar, dan Lelang Sudah Diatur

Pembangunan Tol MBZ yang Dikorupsi Menyimpan Persoalan, Beton di Bawah Standar, dan Lelang Sudah Diatur

Nasional
Kasus 'Ilegal Fishing' 91.246 Ekor Benih Lobster di Jabar Rugikan Negara Rp 19,2 M

Kasus "Ilegal Fishing" 91.246 Ekor Benih Lobster di Jabar Rugikan Negara Rp 19,2 M

Nasional
Menlu Retno: Ada Upaya Sistematis untuk Terus Hambat Bantuan Kemanusiaan ke Gaza

Menlu Retno: Ada Upaya Sistematis untuk Terus Hambat Bantuan Kemanusiaan ke Gaza

Nasional
Pemprov Sumbar Diminta Bangun Sistem Peringatan Dini Banjir Bandang di Permukiman Sekitar Gunung Marapi

Pemprov Sumbar Diminta Bangun Sistem Peringatan Dini Banjir Bandang di Permukiman Sekitar Gunung Marapi

Nasional
Jokowi Ajak Gubernur Jenderal Australia Kunjungi Kebun Raya Bogor

Jokowi Ajak Gubernur Jenderal Australia Kunjungi Kebun Raya Bogor

Nasional
BNPB: 20 Korban Hilang akibat Banjir Lahar di Sumbar Masih dalam Pencarian

BNPB: 20 Korban Hilang akibat Banjir Lahar di Sumbar Masih dalam Pencarian

Nasional
Jokowi Ajak Gubernur Jenderal Australia Tanam Pohon di Bogor

Jokowi Ajak Gubernur Jenderal Australia Tanam Pohon di Bogor

Nasional
Pernyataan Kemendikbud soal Pendidikan Tinggi Sifatnya Tersier Dinilai Tak Jawab Persoalan UKT Mahal

Pernyataan Kemendikbud soal Pendidikan Tinggi Sifatnya Tersier Dinilai Tak Jawab Persoalan UKT Mahal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com