NESTAPA yang dialami oleh sejumlah warga negara Myanmar beretnis Rohingya, memang sangat mendera. Di tanah leluhur mereka ditampik. Di tanah yang diinjak, mereka diusir dengan kekerasan.
Di tanah tempat persinggahan guna menarik napas untuk sementara, mereka ditolak dengan cara-cara di luar batas perikemanusiaan.
Begitulah nasib sekitar lebih 1.000 orang pengungsi Rohingya yang tiba di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Setelah dihempas oleh gulungan ombak laut Andaman dan bertarung nyawa, mereka memiliki secercah harapan tatkala berlabuh di Aceh.
Muka lusuh, badan terseok, kembali jadi segar, menatap kehidupan tanpa bertarung dengan teka teki, kapan mereka menghadap Sang Khalik dengan cara-cara kekerasan, sebagaimana yang mereka alami di negaranya, Myanmar.
Harapan yang membuncah itu, kembali jadi sirna. Pengungsi Rohingya tersebut diperlakukan secara tidak manusiawi di Aceh. Mereka diintimidasi, diprotes, dan diusir.
Anak-anak, wanita, orang tua, pun kian terseok. Mereka hendak berpekik, tetapi suara mereka sudah parau, malah sudah hilang. Tak terdengar lagi oleh siapa pun.
Yang memilukan, sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi yang berafiliasi keagamaan, Islam, ikut mendemo dan memprotes keberadaan mereka.
Lantas, di mana ajaran agama yang mengutamakan ahlak itu disampirkan? Bukankah Islam mengajarkan tamu harus dihormati. Tamu harus diperlakukan baik-baik. Bukankah dalam akidah Islam diajarkan bahwa kemanusiaan itu lebih penting daripada keberagamaan?
Kisah perjalanan Nabi Muhammad patut diingat ulang. Tatkala Nabi Muhammad bersama pengikutnya didera oleh kekerasan dan kekejian kaum kafir di Mekkah, ia melakukan hijrah ke Madinah.
Di sanalah ia diterima baik dan dimanusiakan. Di sanalah Nabi Muhammad membangun peradaban baru. Peradaban yang menghargai arti kemanusiaan.
Di Madinalah Muhammad membangun peradaban tentang harkat dan martabat manusia. Setelah segalanya selesai, Muhammad bersama pengikutnya, kembali ke kota Mekkah.
Kisah perjalanan kaum Rohingya, dari negaranya yang bernama Myanmar, lalu ke Bangladesh, kemudian ke Indonesia, adalah kisah tentang hijrah.
Mereka berhijrah untuk menghindari kesewenang-wenangan dan pemarjinalan martabat manusia.
Di Indonesia, yang penduduknya selalu menghapal Sila Kedua dari Pancasila, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” ternyata pepesan kosong.
Pemerintah, baik pusat maupun lokal, terkesan kurang menunjukkan gelagat untuk menjalankan prinsip “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” itu.
Mahasiswa yang seyogianya menjadi kaum idealis yang menampik kesewenang-wenangan dan menolak perlakuan tak manusiawi, justru menjadi pelaku dan pemeran utama tabiat memperlakukan orang secara tidak manusiawi.
Pengungsi Rohingya tak memiliki keinginan secara sukarela untuk datang ke Aceh, menjadi beban rakyat Aceh secara permanen.
Rohingya tidak punya pilihan. Mereka terdesak dan tidak punya ruang gerak untuk menentukan ke arah mana langkah hendak diayun.
Dengan kondisi seperti itu, masihkah kita semua tega mengintimidasi dan mengusir mereka? Tak adakah rasa kemanusiaan untuk kita sisakan sedikit pun ke mereka?
Mengapa rasa kemanusiaan kita kubur ke dalam lubang kebencian hanya karena mereka berbeda dengan fitur tubuh kita, dan hanya karena mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk Indonesia?
Lagi pula, mereka bukan pengedar narkoba, bukan teroris, bukan pelaku perdagangan manusia. Malah, bisa jadi mereka korban perdagangan manusia.
Saya pun teringat pada akhir 2004, ketika Aceh dilantakkan oleh Tsunami. Sebagian besar Aceh jadi puing berkeping-keping.
Banyak orang Aceh menghadap Sang Khalik melalui mekanisme amuk alam. Aceh porak poranda. Sebagian Aceh nyaris terkubur total ditelan alam yang mengamuk. Siapa yang menolong Aceh ketika itu?
Rasa kemanusiaan di bawah naungan kesemestaan, datang membantu Aceh. Dunia berlomba, tanpa pamrih, malah berdesak-desakan mengulurkan tangan ke Aceh.
Bangsa-bangsa lain tidak membiarkan rakyat Aceh larut dalam kesedihan. Atas nama kemanusiaan, mereka ikhlas menolong Aceh, meringankan beban orang-orang Aceh.
Mereka berpacu dan saling membantu untuk mengangkat kembali martabat orang-orang Aceh, dari puing-puing reruntuhan amuk alam.
Bangsa-bangsa asing datang mengulurkan tangan, tanpa mereka mau tahu orang Aceh itu memiliki kartu tanda penduduk atau tidak.
Mereka ikhlas datang menolong tanpa bertanya ke orang Aceh: “Apakah kalian warga negara Indonesia atau bukan?”
Mereka menolong dengan ikhlas karena dimotivasi nilai universal yang bernama “kemanusiaan.” Tidak ada yang lain.
Apakah dengan ini, orang Aceh harus membalas sebaliknya? Di manakah gerangan arti Darussalam (pondok kedamaian) itu?
Dengan derita dan nestapa yang dialami pengungsi Rohingya itu, Palang Merah Indonesia datang menyapa dan membawa kabar baik. Ingin mengambil-alih masalah pengungsi Rohingya yang ada di Aceh.
Motifnya tunggal, kemanusiaan, karena kemanusiaan itu bersifat universal. Karena itu, PMI tidak lagi melihat apa dan mengapa kaum Rohingya datang ke Aceh.
Bagi PMI, kondisi faktual yang menyayat hati itu, harus diakhiri segera. Sayang, ketulusan PMI tidak direspons baik di lingkaran pemerintah daerah Aceh. Begitu juga sebagian masyarakat Aceh.
Kita tentu masih ingat pada 1975, di zaman kekuasaan Suharto. Indonesia kebanjiran pengungsi Vietnam yang berlarian lantaran kekerasan perang yang merobek negeri mereka.
Suharto dengan gagah dan berani mengambil alih tugas kemanusiaan itu. Para pengungsi Vietnam tersebut ditampung di Kecamatan Galang, Batam.
Hingga 1996, sekitar 250.000 pengungsi Vietnam ditampung oleh Indonesia. Ini kebijakan negara yang sangat manusiawi. Ini yang disebut “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”
Pelan-pelan tapi pasti, para pengungsi Vietnam itu meninggalkan Indonesia ke berbagai tujuan negara lain.
Lembaga PBB yang mengurusi pengungsi (UNCHR) sangat berperan melakukan pemulangan dan penanganan orang-orang Vietnam tersebut.
Indonesia ketika itu, menegakkan kepala dan menunjukkan kepada dunia bahwa di negeri yang tercinta ini, kemanusiaan diberi prioritas.
Di negeri ini, peradaban manusiawi ditegakkan. Di negeri ini, derita sesama manusia selalu dirasakan. Karena itu, siapa pun yang datang dengan derita, maka wajib hukumnya untuk dibantu.
Indonesia saat itu, berjalan tegak dan berpekik, “Kami tidak membiarkan sesama manusia menjalani derita tanpa akhir.”
Saya membayangkan, pemerintah kita, baik pusat maupun daerah, sepakat bahwa pengungsi Rohingya hanyalah sejumlah orang yang bertandang untuk sementara waktu, mengistirahatkan badan dari keletihan lantaran kekerasan.
Mereka toh tidak datang untuk merebut lahan pekerjaan warga negara Indonesia.
Dalam masa istirahat itu, pemerintah Indonesia dapat bernegosiasi dengan UNHCR, negara-negara lain, ataukah badan-badan kemanusiaan lainnya, untuk saling bahu membahu menangani masalah pengungsi ini.
Bukan berpekik menolak. Bukan bersuara lantang mengikuti irama gendering sejumlah orang yang menolak orang-orang Rohingya.
Hanya dengan itu, Indonesia bisa menegakkan kepala lagi sembari berkata: kami memiliki Sila kedua falsafah negara dan kebangsaan kami: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.