Terakhir, pasangan nomor urut tiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menggelontorkan visi pemerintahan yang bersih dan tulus melayani rakyat, melalui penguatan Mal Pelayanan Publik, Lapor Presiden, digitalisasi pemerintahan, dan kesejahteraan ASN.
Yang menarik dari ketiga untaian gagasan tersebut adalah kesepahaman dari semua calon bahwa transformasi digital pemerintahan merupakan akselerator dari upaya perbaikan dan penguatan reformasi birokrasi ke depan.
Memang bukan hal baru mengingat konsep Pemerintahan Elektronik (Electronic Government) maupun Pemerintahan Digital (Digital Government) dapat dilacak kelahirannya setidaknya sejak awal dekade 2000-an, namun tetap menjadi relevan jika dikaitkan dengan konteks Indonesia masa kini.
Merujuk pada laporan We Are Social “Digital 2023: Indonesia”, hingga Januari 2023, lebih kurang 212 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna internet atau 77 persen dari populasi penduduk Indonesia–meningkat tiga kali lipat dibanding jumlah pengguna internet di tahun 2013 di angka 70 juta penduduk.
Di samping itu, 167 juta penduduk Indonesia saat ini juga merupakan pengguna aktif media sosial atau 60 persen dari populasi yang ada.
Praktik pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan lewat berbagai bentuknya juga menjadi jamak setelah pandemi Covid-19 menyergap Tanah Air, mulai dari telekonferensi, pelayanan publik nirtatap muka berbasis aplikasi maupun sistem, hingga perubahan cara dan norma kerja birokrat berbasis digital yang dapat dilakukan dari mana saja (work from anywhere).
Berbagai kebijakan dan regulasi telah disahkan guna memperkuat transformasi digital pemerintahan.
Terakhir, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional, sebagai upaya membangun Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik yang mengutamakan semangat integrasi dan interoperabilitas.
Dokumen Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 turut pula menegaskan urgensi transformasi digital pemerintahan yang bersandar pada tiga area kritikal: akses, keterjangkauan, dan kapasitas sumber daya manusia.
Maka berangkat dari hal di atas, penting bagi tiap pasangan calon untuk mampu membayangkan bentuk utilisasi modalitas yang sudah ada tersebut sebagai pijakan untuk melangkah lebih jauh ke depan.
Tidak hanya dalam menjawab permasalahan transformasi digital pemerintahan saat ini seperti kesenjangan digital dan interoperabilitas data, melainkan juga tantangan masa depan seperti adopsi teknologi mutakhir dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkembang sedemikian cepat.
Harapannya, transformasi birokrasi yang berlandaskan pada digitalisasi pemerintahan tidak hanya berhenti sebagai jargon yang sering diucapkan–dan dijanjikan–tanpa arah yang jelas, tetapi menjadi wahana terbaik untuk membangun ‘kemampuan memprediksi’ (predictive capacity) pemerintah di tengah perkembangan dan ketidakmenentuan yang ada.
Mengutip kalimat legendaris dari jurnalis Perancis Émile de Girardin (1802-1881), “To govern is to foresee: To foresee nothing is not to govern but to run to one’s ruin”. Memerintah adalah meramalkan. Tanpanya sama saja membawa pemerintahan ke tubir kehancuran.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.