Political discontent atau kekecewaan politik yang sejatinya sudah mendalam dan kian lebar, di antaranya turut mendorong insurjensi, seakan terus dikeruk, dampak dari berbagai kebijakan (penegakan hukum) yang minim kepekaan sosial dan politik.
Padahal bila mau dicermati, terkait penanganan terhadap Lukas Enembe, berbagai pihak, terutama dari kalangan atau tokoh orang Papua, telah memberikan peringatan, soal pentingnya perlakuan manusiawi terhadap Lukas Enembe yang dalam kondisi sakit.
Seperti Natalius Pigai yang mengaku bahwa sebelum meninggal dunia, ia telah berkali-kali mengingatkan agar Lukas Enembe bisa dirawat ke luar negeri.
Bahkan sebelum akhirnya dibawa KPK ke Jakarta, Lukas Enembe yang memang dalam kondisi sakit oleh Dr. Socratez Ambirek Godmendemban Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua telah mengingatkan agar sisi kemanusiaan dan kesehatan Lukas Enembe menjadi prioritas.
Begitu pula sesaat setelah kabar meninggalnya Lukas Enembe menyebar, tokoh masyarakat West Papua, Tuyombak Enumbi menuliskan surat terbuka yang menunjukan kekecewaan mendalam terhadap KPK.
Dalam surat terbuka tertanggal 26 Desember 2023 itu, Tuyombak menulis bahwa KPK telah memaksakan kehendak menangkap Lukas Enembe secara membabi buta dalam keadaan sakit dan memperlakukannya secara tidak manusiawi sejak penangkapan sampai dengan penjatuhan vonis pidana penjara.
Ia juga meminta KPK harus ikut bertanggung jawab dengan mengantar jenazah almarhum Lukas Enembe sampai ke tanah Papua untuk kemudian diserahkan kepada keluarga secara bermartabat.
Namun berbagai pendapat dan permintaan itu seperti tak dihiraukan, yang terjadi justru sebaliknya. Meninggalnya Lukas Enembe tidak terlihat ada ucapkan belasungkawa terutama dari unsur pemerintah pusat dan otoritas terkait.
Padahal ini bukan untuk memberikan privilege kepada seseorang, tapi selain agar penegakan dan penyelesaian persoalan hukum tetap berjalan, pendekatan yang humanis dengan melihat psikologi sosial (massa) tetap juga bisa ditinggikan.
Apalagi bila berkaca pada cerita bekas Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang juga terpidana kasus suap dan gratifikasi, bahkan bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Batu, Jawa Timur.
Sudah saatnya, dan harus menjadi paradigma bersama seluruh pemangku kewajiban dalam upaya menghadapi atau menangani persoalan Papua, yakni bagaimana agar bisa memenangkan hati orang Papua.
Kekecewaan dan ketidakpercayaan akan membuat upaya mendorong dan memperkuat integrasi nasional (meliputi Papua) secara substantif kian sulit dan berat.
Itu sebabnya, dalam upaya lebih lanjut, persoalan Papua jangan terkesan dibiarkan terus mengendap, atau disimpan di bawah karpet problematika nasional, dan kemudian menjadi api dalam sekam, hadirkan korban, lalu pemerintah seperti pemadam kebakaran.
Bila mau jujur, situasi yang mengemuka hari-hari ini, sebenarnya adalah puncak dari ketamakan dan paradigma pembangunan nasional (terutama di Papua) yang keliru, serta diabaikannya eksistensi orang Papua selama puluhan tahun.
Kesempatan emas yang telah diberikan untuk mengelola negara sesuai “kesepakatan didirikan” kenyataannya tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa yang telah diberikan amanat oleh rakyat.