Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Soal Lukas Enembe dan Gagalnya Memenangkan Hati Orang Papua

Kompas.com - 30/12/2023, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SITUASI Papua terutama di Jayapura memanas dan mencekam pascameninggal dan dipulangkannya jenazah Lukas Enembe, mantan Gubernur Papua, pada Kamis, 28 Desember 2023.

Sejumlah orang dikabarkan terluka, termasuk Penjabat (Pj) Gubernur Papua M Ridwan Rumasukun. Beberapa bangunan dan fasilitas publik juga rusak dan terbakar.

Ini tentu peristiwa kekerasan yang kesekian dan pastinya bukan yang terakhir melihat penanganan terhadap persoalan Papua sejauh ini oleh ‘Jakarta’.

Sebagai pemerhati persoalan di kawasan timur Indonesia, peristiwa kekerasan yang mengiringi jenazah Lukas Enembe bukan satu hal mengejutkan.

Penanganan hukum terhadapnya yang dramatis, persidangan yang disiarkan di televisi, dengan menampilkan kondisinya yang sakit dan ringkih, serta opini soal tak diizinkan untuk berobat, seakan tidak mempertimbangkan suasana kebatinan orang Papua.

Terlepas dari kekurangannya, sebagai tokoh yang dua kali terpilih dalam pemilihan gubernur secara langsung, dan hampir 10 tahun memimpin Papua, tentu saja Lukas Enembe punya pendukung fanatik, juga secara umum dianggap sebagai simbol orang Papua.

Rangkaian peristiwa yang menimpanya dan menjadi konsumsi publik, kemudian berkelindan, menemukan momentum saat kepulangan jenazahnya ke Papua, yang disambut ribuan massa, bak menanti pahlawan.

Dalam konteks ini, harus diakui, pemerintah telah gagal dalam memainkan orkestra untuk memenangkan hati orang Papua, baik dalam soal Lukas Enembe, apalagi dalam konteks Papua yang lebih luas.

Terkait Lukas Enembe, misalnya, betul ia terlibat kasus gratifikasi, seperti yang disangkakan kepadanya dan telah divonis dengan segala framing pemberitaan yang mengiringi. Pun setiap warga negara sama di depan hukum, tidak ada yang istimewa.

Namun dengan melihat situasi politik Papua belakangan ini, proses penanganan (hukum) terhadap Lukas Enembe dan tokoh-tokoh Papua lainnya semestinya juga dilihat dan ditangani dengan lebih hati-hati.

Diperlukan pendekatan jauh lebih humanis atau manusiawi, meminimaliskan luka di benak mereka yang memang telah kecewa.

Dalam kondisi ini, penegakan hukum terkait korupsi memang penting, tapi caranya juga tidak kalah penting. Jangan kemudian ingin surplus dalam penegakan hukum (korupsi), tapi justru defisit secara sosial-politik di hati masyarakat Papua.

Apalagi ada sebagian dari kalangan orang Papua yang menganggap Lukas Enembe sebagai pemimpin rakyat kecil dan meyakini persoalan hukum yang menimpanya merupakan politisasi atau kriminalisasi, bila tak ingin disebut sebagai satu konspirasi politik.

Itu sebabnya, ketika ditetapkan sebagai tersangka dan sebelum akhirnya dijemput oleh KPK ke Jakarta pada 10 Januari 2023 lalu, ratusan masyarakat adat atau simpatisan menjaga ketat kediamannya di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua.

Perlakuan terhadap Lukas Enembe, yang bisa diikuti layaknya reality show, baik itu melalui media massa, maupun media sosial, terlepas dari konsekuensi hukum yang harus ia terima, sedikit banyak telah menarik empati terutama kalangan orang Papua.

Political discontent atau kekecewaan politik yang sejatinya sudah mendalam dan kian lebar, di antaranya turut mendorong insurjensi, seakan terus dikeruk, dampak dari berbagai kebijakan (penegakan hukum) yang minim kepekaan sosial dan politik.

Padahal bila mau dicermati, terkait penanganan terhadap Lukas Enembe, berbagai pihak, terutama dari kalangan atau tokoh orang Papua, telah memberikan peringatan, soal pentingnya perlakuan manusiawi terhadap Lukas Enembe yang dalam kondisi sakit.

Seperti Natalius Pigai yang mengaku bahwa sebelum meninggal dunia, ia telah berkali-kali mengingatkan agar Lukas Enembe bisa dirawat ke luar negeri.

Bahkan sebelum akhirnya dibawa KPK ke Jakarta, Lukas Enembe yang memang dalam kondisi sakit oleh Dr. Socratez Ambirek Godmendemban Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua telah mengingatkan agar sisi kemanusiaan dan kesehatan Lukas Enembe menjadi prioritas.

Begitu pula sesaat setelah kabar meninggalnya Lukas Enembe menyebar, tokoh masyarakat West Papua, Tuyombak Enumbi menuliskan surat terbuka yang menunjukan kekecewaan mendalam terhadap KPK.

Dalam surat terbuka tertanggal 26 Desember 2023 itu, Tuyombak menulis bahwa KPK telah memaksakan kehendak menangkap Lukas Enembe secara membabi buta dalam keadaan sakit dan memperlakukannya secara tidak manusiawi sejak penangkapan sampai dengan penjatuhan vonis pidana penjara.

Ia juga meminta KPK harus ikut bertanggung jawab dengan mengantar jenazah almarhum Lukas Enembe sampai ke tanah Papua untuk kemudian diserahkan kepada keluarga secara bermartabat.

Namun berbagai pendapat dan permintaan itu seperti tak dihiraukan, yang terjadi justru sebaliknya. Meninggalnya Lukas Enembe tidak terlihat ada ucapkan belasungkawa terutama dari unsur pemerintah pusat dan otoritas terkait.

Padahal ini bukan untuk memberikan privilege kepada seseorang, tapi selain agar penegakan dan penyelesaian persoalan hukum tetap berjalan, pendekatan yang humanis dengan melihat psikologi sosial (massa) tetap juga bisa ditinggikan.

Apalagi bila berkaca pada cerita bekas Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang juga terpidana kasus suap dan gratifikasi, bahkan bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Batu, Jawa Timur.

Sudah saatnya, dan harus menjadi paradigma bersama seluruh pemangku kewajiban dalam upaya menghadapi atau menangani persoalan Papua, yakni bagaimana agar bisa memenangkan hati orang Papua.

Kekecewaan dan ketidakpercayaan akan membuat upaya mendorong dan memperkuat integrasi nasional (meliputi Papua) secara substantif kian sulit dan berat.

Itu sebabnya, dalam upaya lebih lanjut, persoalan Papua jangan terkesan dibiarkan terus mengendap, atau disimpan di bawah karpet problematika nasional, dan kemudian menjadi api dalam sekam, hadirkan korban, lalu pemerintah seperti pemadam kebakaran.

Bila mau jujur, situasi yang mengemuka hari-hari ini, sebenarnya adalah puncak dari ketamakan dan paradigma pembangunan nasional (terutama di Papua) yang keliru, serta diabaikannya eksistensi orang Papua selama puluhan tahun.

Kesempatan emas yang telah diberikan untuk mengelola negara sesuai “kesepakatan didirikan” kenyataannya tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa yang telah diberikan amanat oleh rakyat.

Lebih lanjut, dengan menimbang sejarah politik Papua, dan melihat kondisi eksisting atau geopolitik terakhir, sesungguhnya memperlihatkan tingginya kadar resistensi masyarakat Papua, antara lain akibat pendekatan politik belum tepat sasaran.

Pendekatan yang tidak mengutamakan nilai kemanusian serta gagal menghidupkan setiap potensi dan kearifan lokal. Pendekatan yang sejauh ini hanya untuk dapat mengandalkan keamanan semata.

Padahal integrasi wilayah tak berarti apa-apa tanpa ada integrasi sosial. Sebaliknya yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam, sementara masyarakat Papua hanya bisa menyaksikan itu di depan mata.

Keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Generasi tercerahkan dan pemimpin politik bangsa ini, tak boleh membiarkan kondisi ini terus berlangsung, seperti mengabaikan orang yang sedang sekarat, namun masih tetap berusaha menunda kematiannya, sementara sejarah akan terus merekam dan mencatat semuanya.

Pemerintah ‘Jakarta’ terlihat belum menunjukan upaya penting, strategis dan berarti untuk mengendalikan situasi yang ada.

Belum terlihat ada pendekatan yang prima, relevan, adil, bermartabat dan manusiawi, yang tampak hanya security approach semata. Pendekatan yang terus menelan korban manusia, baik itu yang meninggal dunia maupun luka-luka.

Penerapan Otonomi Khusus di Papua dalam 20 tahun terakhir yang relatif gagal, serta pelanggaran HAM yang mengiringinya dan masih terus terjadi, adalah fakta atau kenyataan pahit yang tak terbantahkan.

Padahal sejarah peradaban manusia telah membuktikan dan mengajarkan bahwa melakukan kontrol dengan cara paksa, dan kemudian mengeksploitasi besar-besaran sumber daya alam satu entitas hanya akan berujung pada kegagalan.

Apa yang terjadi akhir-akhir ini, termasuk dalam insiden atau peristiwa yang menyertai pemulangan jenazah Lukas Enembe, adalah fakta bahwa sejauh ini —terlepas dari sejumlah faktor lain— kita belum mampu atau gagal memenangkan hati orang Papua.

Momentum Pemilu 2024 yang kita jelang, mestinya dapat kita maknai dengan baik, untuk turut memastikan hadirnya pemerintahan baru yang lebih visioner dan efektif dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, termasuk pada isu Papua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com