Angin yang tak ber-KTP menghembuskan polusi udara dari pabrik-pabrik, pembangkit listrik, dan aktivitas industri lalu masuk Jakarta, sehingga kualitas udara Ibu Kota kian buruk.
Sementara musim pemilu, ada polusi lain yang tak kalah mencemari, ia berhembus dari Jakarta ke seantero negeri.
Namun bukan polusi udara, tetapi polusi kampanye para kandidat dan timsesnya yang ber-KTP, juga partisan, yang mencemari kesadaran dan kohesi publik.
Dampaknya, ranah perdebatan politik lebih sentimen ketimbang rasional, terkecoh janji-janji manis tanpa kajian matang, yang penting memicu kesukaan, tak peduli itu masuk akal atau tidak.
Terkadang pemicunya bersifat trivial (receh) dan bukan sesuatu yang mendalam, juga kaya substansi terkait program.
Sebagai simulasi, polusi kampanye terbentuk, ketika para kandidat berebut panggung kampanye dengan menawarkan program populis.
Jika satu kandidat melempar program populis dan penerimaan publik antusias, maka kandidat lain akan menduplikasi program serupa dengan menambah nilai manfaatnya untuk menarik menarik perhatian pemilih.
Misal, kandidat A menjanjikan kenaikan gaji 50 persen. Kandidat B tak mau kalah dengan menawaran kenaikan 100 persen ditambah tunjungan liburan.
Sementara kandidat C memukul lebih tinggi dengan menaikkan 200 persen plus liburan dan tunjungan skincare. Sedangkan kesanggupan pasar dalam menoleransi kenaikan gaji, misalnya, hanya 40 persen.
Akibatnya dari sudut pandang ekonomi dan kebijakan publik terjadi apa yang disebut deadweight loss, kerugian bagi publik yang diakibatkan oleh inefisiensi ekonomi.
Penawaran yang dipaksakan pemerintah tidak dapat diterima pasar, tetapi terlanjur menciptakan lonjakan permintaan dalam bentuk pencari kerja yang tidak dapat diserap.
Kekacauan ini terjadi karena kurva penawaran dan permintaan berada di luar keseimbangan.
Para kandidat dan timsesnya adalah biang kerok jika kondisi itu terjadi.
Semua kandidat tidak lagi membicarakan program secara holistik dan komprehensif. Atau mungkin saja program-program populis itu sengaja dilempar untuk ajang obral bualan semata, yang sedari hati dan pikiran tidak untuk direalisasikan.
Seorang kandidat dalam momentum pemilu, menempatkan dirinya sebagai ratu adil, yang menghidupkan sentimen perlawanan untuk mewakili kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai suara rakyat banyak atau kami (we), sekaligus menempatkan rezim atau lawan sebagai yang lain (the others), yang menghambat kesejahteraan.
Populisme program ekonomi itu dihidupkan dengan gambaran utopia kesejateraan, yang tiba pada satu konklusi bahwa rezim tidak menjalankan agenda ekonomi kerakyatan, sembari membalut slogan dirinya dengan frasa popular seperti “Gratis”, “Gaji Naik”, “Murah”, “Makmur”, yang lebih bernuansa retorika ketimbangkan bersifat kebijakan rasional.
Populisme ekonomi, menurut Dornbusch dalam Sergei Guriev dan Elias Papaioannou (2022) sebagai pendekatan yang menekankan pertumbuhan dan redistribusi pendapatan.
Namun tidak menekankan atas risiko inflasi, defisit pendapatan, kendala eksternal dan dampaknya terhadap pelaku ekonomi, akibat kebijakan non-pasar yang agresif.
Mengutip terbitan The Economist pada 12 Oktober 2023, bertajuk “to beat populists, sensible policymakers must up their games”, dua peneliti Funke dan Trebesch mengungkapkan potret yang menohok.
Pemimpin-pemimpin populis monorehkan pertumbuhan nasional dengan Gross Domestic Product (GDP) atau pertumbuhan produk domestik bruto 10 persen lebih rendah dibandingkan pemimpin atau rezim yang kebijakannya dengan pendekatan rasional.
Kembali ke studi Sergei Guriev dan Elias Papaioannou bertajuk “The Political Economy of Populism” terbitan Harvard Kennedy School (2022).
Tokoh Gerakan populis pro-redistribusi yang dimulai oleh Juan Peron di Argentina dan Gutelio Vargas di Brasil, masih terus dilanjutkan terbaru oleh Nestor dan Christina Kirchner, Hugo Chaves, Evo Morales, dan Rafael Correa.
Kebangkitan populisme baru-baru ini sebagian besar melahirkan politisi dengan agenda-agenda berbeda, nasionalisme mereka berfokus pada identitas dan moralitas.
Kaum populis terjepit untuk memprioritaskan amarah dan tuntutan pendukung untuk berbeda arah kebijakan dengan rezim, meski harus menanggalkan rasionalitas ekonomi.
Namun kalau kita liat fakta terakhir, gerakan populisme ekonomi pro-distribusi di belahan dunia mengalami delegitimasi. Dinasti Kirchner berakhir, referendum Evo Morales gagal untuk melanggengkan kekuasaannya untuk kali keempat.
Gerakan populisme serupa gagal mendapatkan tempat di negara-negara Eropa, kecuali Syriza di Yunani.
Rasionalitas publik melihat aneka macam janji populis, diharapkan melahirkan kesadaran, proyek besar membangun Indonesia tidak didasarkan pada mimpi satu dua orang, atau ego kelompok setiap lima tahunan, melainkan konsensus bersama dalam mewujudkan mimpi Indonesia berkemajuan dalam jangka panjang.
Siapapun pemimpin kelak, ia tidak bisa menafikan mandatory spending yang berjalan, ruang fiskal ditambah janji populis perlu dikelola secara arif agar tidak mempersempit ruang anggaran.
Ekonomi harus terus berputar, tidak mungkin menanggalkan proyek strategis yang bersifat multiyears.
Penambahan program ekonomi juga harus diikuti solusi menambah pendapatan negara secara signifikan, investasi dan industrialisasi di semua bidang.
Dengan demikian, pasar Indonesia tidak sekadar memproduksi barang mentah atau setengah jadi, di tengah melesuhnya pasar tenaga kerja yang terjebak middle income trap.
Industrialisasi semua sektor dalam negeri diperlukan untuk memastikan kita keluar dari ekonomi yang bercorak kapitalisme semu.
Stabilitas ekonomi sejatinya tidak boleh dipojokkan atas nama tekanan politik. Kita pernah mengalami kebijakan yang diperlukan untuk menggairahkan ekonomi, tetapi publik diarahkan untuk menolak.
Kita pernah juga mengalami tekanan untuk aneka subsidi yang membebani, walaupun manfaatnya lebih kepada kelas menengah atas, atau kepuasan segelintir dalam jangka pendek, ditambah beban insentif pajak dan kebijakan perdagangan yang lebih mempertimbangkan tekanan publik.
Seperti kata orang bijak, jalan para pejuang adalah jalan sepi. Begitupun dalam ekonomi politik, kebijakan yang rasional kerap minim dukungan dan sepi tepuk tangan.
Namun untuk menyelamatkan agenda jangka panjang, pemimpin perlu mengambil risiko untuk menggelorakan ekonomi.
Mewujudkan kemajuan Indonesia kedepan, butuh lompatan yang memihak pada kebijakan rasional dan proporsional.
Populisme program ekonomi, ketimbang kebijakan rasional, tidak akan mendorong kemandirian dan kemajuan ekonomi seperti riset-riset yang dikemukan di atas.
Seperti mimpi-mimpi utopis Karl Marx yang memimpikan “suatu masyarakat di mana orang-orang bekerja hanya 4 jam di pagi hari, pergi memancing di siang hari, dan menghabiskan senja hingga malam hari dengan membaca puisi.”
Janji para populis seperti bualan Marx itu, tinggal kita memilih hidup dalam bualan atau menghadapi kenyataan hadapi kemajuan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.