Coba kita kilas balik sebentar pada Pemilu 1997, pemilu terakhir era Orde Baru, yang juga diwarnai kecemasan dan keresahan elite. Saat itu kecemasan dan keresahan elite langsung sambung dengan kecemasan dan keresahan masyarakat pada umumnya.
Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi bahasa elite dapat dengan mudah mengalir dan dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
Isu KKN langsung mendapat pembenaran di mata rakyat, karena rakyat berhadapan dengan kelangkaan barang kebutuhan pokok yang menandai krisis ekonomi saat itu.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus merosot sejak pertengahan 1997. Pada 21 Juli 1997 masih Rp 2.700 per dollar AS. Anjlok terus menjadi Rp 5.363 per dollar AS pada 2 Januari, menuju Rp 10.000 per dollar AS pada 6 Januari 1998. Lalu, mencapai angka Rp 17.000 per dollar AS pada 22 Januari 1998 (Kompas, 19/03/1998).
Cerita rupiah lalu menjadi cerita politik. Isu KKN berhembus kencang bersamaan dengan kelangkaan barang kebutuhan pokok.
Publik pun membincangkannya secara luas dan intensif pada akhir 1997 dan awal 1998. Baik melalui media massa, diskusi, seminar dan mimbar bebas di kampus-kampus, maupun obrolan kelas warung kopi dan pasar tradisional.
Pemerintah Orde Baru kehilangan daya kontrol dan legitimasi. Ujungnya Presiden Soeharto mengudurkan diri pada Mei 1998. Meski baru ditetapkan secara aklamasi oleh MPR pada Sidang Umum (SU) MPR Maret 1998.
Berbeda dengan pemilu terakhir Orde Baru tersebut, kecemasan dan keresahan elite menjelang Pilpres 2024 putus sambungan dengan masyarakat pada umumnya.
Masyarakat mengganggap kehidupan sehari-hari masih normal. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, tapi masih terjangkau dan tersedia.
Apalagi sebagian masyarakat menerima BLT (bantuan langsung tunai). Hasil survei Litbang Kompas pun menunjukkan angka kepuasan masyarakat masih tinggi terhadap kinerja pemerintah (73,5 persen). Hanya sedikit menurun dibandingkan empat bulan sebelumnya (74,3 persen).
Saya melihat, saat orientasi dan kesadaran politik masyarakat masih subsisten, pemilu juga akan dilihat secara subsisten pula. Dimensi masa depannya tak dilihat.
Di sinilah persoalan pendidikan politik demokrasi yang harus dituntaskan dan menjadi pekerjaan besar bangsa ke depan, yang rupanya terabaikan selama ini.
Reformasi terkesan “jalan di tempat” (involusi). Hanya menghasilkan kelembagaan politik (badan) baru tanpa pembaruan kultur (jiwa).
Bila pendidikan politik demokrasi beres, niscaya praktik demokrasi dari hulu ke hilir akan beres pula. Setiap warga negara akan menolak setiap tindakan ketidakberesan praktik demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.