Hasil survei capres itu ternyata juga linier dengan survei partai politik (parpol). Posisi PDI Perjuangan sebagai parpol dengan elektabilitas tertinggi pada survei Kompas awal Agustus 2023 kini digeser Partai Gerindra.
Elektabilitas Gerindra meningkat 3 persen dibandingkan survei Agustus 2023 menjadi 21,9 persen. Sementara itu PDI Perjuangan malah turun 3,1 persen dari angka 24,4 persen menjadi 18,3 persen.
Bukan hanya Partai Gerindra, mayoritas parpol pengusung pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pun mengalami kenaikan elektabilitas.
Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga mendapatkan efek elektoral meski tidak mencolok. Tingkat keterpilihan Partai Golkar naik dari 7,2 persen menjadi 8,0 persen, sedangkan PAN naik dari 3,4 persen ke 4,2 persen.
Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikomandani Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengalami kenaikan elektabilitas cukup signifikan. Pada survei Agustus, elektabilitas PSI hanya 0,8 persen, kini sebesar 2,6 persen.
Hanya Partai Demokrat yang kurang beruntung. Elektabilitasnya turun dari 7,0 persen pada survei Agustus 2023, kini tinggal 4,5 persen.
Pergeseran angka-angka tersebut menunjukkan bahwa isu politik dinasti yang menyasar keluarga Jokowi dan menandai adanya krisis moral politik tak berpengaruh pada konstelasi politik Pemilu 2024.
Justru sebaliknya, pemilih PDI Perjuangan dan Jokowi pada Pemilu 2019 sebagian meninggalkan Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan. Setidaknya hingga survei tersebut dilakukan.
Bukankah mestinya isu politik dinasti tersebut berdampak negatif secara elektoral terhadap pasangan Prabowo-Gibran? Mestinya isu politik dinasti yang memanaskan situasi politik menjelang pendaftaran capres-cawapres mampu menumbuhkan pendidikan politik dan kesadaran kritis para pemilih, lalu meluaskan dukungan elektoral bagi kompetitor Prabowo-Gibran.
Saya melihat isu politik dinasti tak membumi, gagal mengalir ke lapisan yang luas, tak laku di pasar pemilih, terutama menengah-bawah. Isu serius bagi perpolitikan nasional dan masa depan demokrasi itu tak sampai menjadi perbincangan serius di kalangan menengah-bawah, apalagi akar rumput.
Isu tersebut terlampau abstrak, tak menyentuh masalah hidup sehari-hari kalangan menengah-bawah. Orientasi dan kesadaran politik masyarakat pada umumnya rupanya masih bersifat subsisten.
Karena itu, kecemasan dan keresahan elite gagal ditransformasikan menjadi kecemasan dan keresahan masyarakat pada umumnya. Tak ada bahasa yang mempertemukannya.
Bagi masyarakat pada umumnya, kegaduhan politik menjelang pendaftaran capres-cawapres hanya menjadi “tontonan”, bukan “tuntunan”.
Hal tersebut, saya kira, merefleksikan kadar pendidikan politik demokrasi masyarakat. Bagi sebagian kecil masyarakat (elite), demokrasi harus ditegakkan dari hulu ke hilir. Moralitas lah hulunya.
Namun, bagi masyarakat pada umumnya, kehidupan nyata sehari-hari dianggap lebih utama (subsistensi).