Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Ketika Isu Politik Dinasti Tak Membumi

Kompas.com - 15/12/2023, 16:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HASIL survei Litbang Kompas pada 29 November-4 Desember 2023 (Kompas, 11/12/2023), di antaranya mengonfirmasi satu hal. Yakni, isu politik dinasti tak membumi, elitis, tak laku di pasar pemilih.

Isu panas politik dinasti yang mengawali proses pendaftaran pasangan calon presiden – wakil presiden (capres-cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 rupanya berhenti di lapisan elite saja.

Hanya menjadi konsumsi elite. Isu tersebut kehabisan daya alir menuju lapisan yang luas, terutama masyarakat menengah-bawah.

Diskusi dan perbincangan publik melalui kanal-kanal media sosial dan saluran komunikasi lain yang gencar pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden hanya berhenti sebagai “tontonan”. Bukan “tuntunan” bagi masyarakat pada umumnya.

Sebagaimana telah dicatat sejarah, Pilpres 2024 diwarnai putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengubah syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden.

Melalui putusan tersebut, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendapatkan tiket sebagai capres dan cawapres dengan nomor urut 2.

Proses tersebut dinilai banyak pihak menabrak aturan dan moralitas politik yang menjadi sandaran demokrasi.

Anwar Usman lalu dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). Ia dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat. Pasalnya, ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi).

MK dipandang ikut membuka jalan bagi politik dinasti. MK dinilai telah meruntuhkan fondasi demokrasi Indonesia. Hukum bisa diotak-atik untuk melayani kekuasaan. Moralitas bisa diabaikan bila menghalangi kepentingan kekuasaan.

Banyak kalangan lalu resah dan berteriak. Merasa cemas dan khawatir bahwa Pilpres 2024 akan dipenuhi pelanggaran kepatutan, kecurangan-kecurangan, bahkan melibatkan alat-alat negara.

Azas “luberjurdil” (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) tak terpenuhi. Hasil pilpres akan dianggap cacat moral, krisis legitimasi.

Namun, kecemasan dan kekhawatiran itu rupanya berhenti di kalangan elite saja. Hasil survei Litbang Kompas memperlihatkan bahwa elektabilitas capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, bukan menurun, justru meninggalkan dua kompetitornya.

Elektabilitas Ganjar Pranowo malah tergerus tajam. Ia tertinggal cukup jauh dibandingkan Prabowo Subianto. Elektabilitas Ganjar hanya 18 persen, sementara Prabowo di angka 39,7 persen. Selanjutnya, Anies Baswedan sebesar 17,4 persen.

Padahal, hasil survei Litbang Kompas awal Agustus 2023, empat bulan sebelumnya, masih menempatkan Ganjar pada posisi tertinggi (34,1 persen). Unggul dari Prabowo (31,3 persen) dan Anies (19,2 persen).

Bukan hanya perorangan, elektabilitas pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, juga tertinggi (39,3 persen). Unggul jauh dibandingkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (16,7 persen) dan Ganjar Pranowo-Mahfud (15,3 persen). Masih sebesar 28,7 persen yang belum menentukan pilihan.

Hasil survei capres itu ternyata juga linier dengan survei partai politik (parpol). Posisi PDI Perjuangan sebagai parpol dengan elektabilitas tertinggi pada survei Kompas awal Agustus 2023 kini digeser Partai Gerindra.

Elektabilitas Gerindra meningkat 3 persen dibandingkan survei Agustus 2023 menjadi 21,9 persen. Sementara itu PDI Perjuangan malah turun 3,1 persen dari angka 24,4 persen menjadi 18,3 persen.

Bukan hanya Partai Gerindra, mayoritas parpol pengusung pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pun mengalami kenaikan elektabilitas.

Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga mendapatkan efek elektoral meski tidak mencolok. Tingkat keterpilihan Partai Golkar naik dari 7,2 persen menjadi 8,0 persen, sedangkan PAN naik dari 3,4 persen ke 4,2 persen.

Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikomandani Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengalami kenaikan elektabilitas cukup signifikan. Pada survei Agustus, elektabilitas PSI hanya 0,8 persen, kini sebesar 2,6 persen.

Hanya Partai Demokrat yang kurang beruntung. Elektabilitasnya turun dari 7,0 persen pada survei Agustus 2023, kini tinggal 4,5 persen.

Pergeseran angka-angka tersebut menunjukkan bahwa isu politik dinasti yang menyasar keluarga Jokowi dan menandai adanya krisis moral politik tak berpengaruh pada konstelasi politik Pemilu 2024.

Justru sebaliknya, pemilih PDI Perjuangan dan Jokowi pada Pemilu 2019 sebagian meninggalkan Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan. Setidaknya hingga survei tersebut dilakukan.

Bukankah mestinya isu politik dinasti tersebut berdampak negatif secara elektoral terhadap pasangan Prabowo-Gibran? Mestinya isu politik dinasti yang memanaskan situasi politik menjelang pendaftaran capres-cawapres mampu menumbuhkan pendidikan politik dan kesadaran kritis para pemilih, lalu meluaskan dukungan elektoral bagi kompetitor Prabowo-Gibran.

Saya melihat isu politik dinasti tak membumi, gagal mengalir ke lapisan yang luas, tak laku di pasar pemilih, terutama menengah-bawah. Isu serius bagi perpolitikan nasional dan masa depan demokrasi itu tak sampai menjadi perbincangan serius di kalangan menengah-bawah, apalagi akar rumput.

Isu tersebut terlampau abstrak, tak menyentuh masalah hidup sehari-hari kalangan menengah-bawah. Orientasi dan kesadaran politik masyarakat pada umumnya rupanya masih bersifat subsisten.

Karena itu, kecemasan dan keresahan elite gagal ditransformasikan menjadi kecemasan dan keresahan masyarakat pada umumnya. Tak ada bahasa yang mempertemukannya.

Bagi masyarakat pada umumnya, kegaduhan politik menjelang pendaftaran capres-cawapres hanya menjadi “tontonan”, bukan “tuntunan”.

Hal tersebut, saya kira, merefleksikan kadar pendidikan politik demokrasi masyarakat. Bagi sebagian kecil masyarakat (elite), demokrasi harus ditegakkan dari hulu ke hilir. Moralitas lah hulunya.

Namun, bagi masyarakat pada umumnya, kehidupan nyata sehari-hari dianggap lebih utama (subsistensi).

Coba kita kilas balik sebentar pada Pemilu 1997, pemilu terakhir era Orde Baru, yang juga diwarnai kecemasan dan keresahan elite. Saat itu kecemasan dan keresahan elite langsung sambung dengan kecemasan dan keresahan masyarakat pada umumnya.

Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi bahasa elite dapat dengan mudah mengalir dan dipahami oleh masyarakat pada umumnya.

Isu KKN langsung mendapat pembenaran di mata rakyat, karena rakyat berhadapan dengan kelangkaan barang kebutuhan pokok yang menandai krisis ekonomi saat itu.

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus merosot sejak pertengahan 1997. Pada 21 Juli 1997 masih Rp 2.700 per dollar AS. Anjlok terus menjadi Rp 5.363 per dollar AS pada 2 Januari, menuju Rp 10.000 per dollar AS pada 6 Januari 1998. Lalu, mencapai angka Rp 17.000 per dollar AS pada 22 Januari 1998 (Kompas, 19/03/1998).

Cerita rupiah lalu menjadi cerita politik. Isu KKN berhembus kencang bersamaan dengan kelangkaan barang kebutuhan pokok.

Publik pun membincangkannya secara luas dan intensif pada akhir 1997 dan awal 1998. Baik melalui media massa, diskusi, seminar dan mimbar bebas di kampus-kampus, maupun obrolan kelas warung kopi dan pasar tradisional.

Pemerintah Orde Baru kehilangan daya kontrol dan legitimasi. Ujungnya Presiden Soeharto mengudurkan diri pada Mei 1998. Meski baru ditetapkan secara aklamasi oleh MPR pada Sidang Umum (SU) MPR Maret 1998.

Berbeda dengan pemilu terakhir Orde Baru tersebut, kecemasan dan keresahan elite menjelang Pilpres 2024 putus sambungan dengan masyarakat pada umumnya.

Masyarakat mengganggap kehidupan sehari-hari masih normal. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, tapi masih terjangkau dan tersedia.

Apalagi sebagian masyarakat menerima BLT (bantuan langsung tunai). Hasil survei Litbang Kompas pun menunjukkan angka kepuasan masyarakat masih tinggi terhadap kinerja pemerintah (73,5 persen). Hanya sedikit menurun dibandingkan empat bulan sebelumnya (74,3 persen).

Saya melihat, saat orientasi dan kesadaran politik masyarakat masih subsisten, pemilu juga akan dilihat secara subsisten pula. Dimensi masa depannya tak dilihat.

Di sinilah persoalan pendidikan politik demokrasi yang harus dituntaskan dan menjadi pekerjaan besar bangsa ke depan, yang rupanya terabaikan selama ini.

Reformasi terkesan “jalan di tempat” (involusi). Hanya menghasilkan kelembagaan politik (badan) baru tanpa pembaruan kultur (jiwa).

Bila pendidikan politik demokrasi beres, niscaya praktik demokrasi dari hulu ke hilir akan beres pula. Setiap warga negara akan menolak setiap tindakan ketidakberesan praktik demokrasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com