Walhasil, interdependensi ekonomi antara Indonesia dan China ikut memengaruhi praktik-praktik demokrasi di dalam pemerintahan Indonesia.
Atas nama kepentingan proyek-proyek strategis nasional yang menjadi lahan produktif untuk investasi dari China, praktik-praktik demokrasi dan penegakan hukum cenderung dinomor duakan.
Walhasil, secara teknis, sebagaimana ditulis oleh Edwards Aspinal dalam bukunya "Democracy for Sale" (2019), praktik-praktik "vote buying" dan "money politics" telah mengotori proses elektoral di Indonesia, ditopang limpahan dana dari para oligarki ekonomi yang ingin ikut mengamankan kepentingannya di dalam proses pemilihan umum.
Dan tak lupa, faktor pendorong yang juga sangat berperan dalam pembusukan demokrasi Indonesia adalah praktik dinasti politik yang mulai dimainkan penguasa jelang pemilihan 2024 nanti.
Hal tersebut bisa dilihat dari toleransi para elite-elite politik atas lahirnya UU Omnibus Law, politisasi penggunaan Undang – Undang ITE (informasi dan Transaksi Elektronik) untuk mengkriminalisasi para pengkritik pemerintah, pengacauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemanfaatan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kepentingan keluarga, politik dinasti, dan lainnya.
Semua contoh tersebut memperburuk kualitas dan performa demokrasi Indonesia sejak beberapa tahun belakangan.
Lihat saja, skor indeks demokrasi global Indonesia masih tercatat kurang berkembang positif. Indonesia berada di bawah Kolombia dan Filipina, sebagaimana terungkap dari laporan indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2023 ini.
Skor Indeks tersebut memiliki skala dari 0 hingga 10. Pengukurannya didasarkan pada pemeringkatan 60 indikator, yang semuanya dikelompokkan ke dalam lima kategori: proses pemilu dan pluralisme; kebebasan sipil; fungsi pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik.
Setiap kategori akan diberi skala 0 sampai 10. Total indeks adalah rata-rata sederhana dari indeks lima kategori tersebut.
Indonesia kini berada di peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demokrasi tahun 2021 lalu. Namun, peringkat Indonesia turun dari 52 ke 54.
Indonesia kini berada di bawah Kolombia yang duduk di peringkat ke-53, yakni dengan skor 6,72. Indonesia juga berada di bawah Filipina yang berada di peringkat ke-52 dengan skor 6,73 dan Malaysia di peringkat 40 dengan skor 7,30.
Sementara itu, skor demokrasi (freedom score) Indonesia versi Freedom House juga tak membaik. Freedom House adalah lembaga di Amerika Serikat yang dipakai jasanya oleh banyak pihak untuk mengukur implementasi demokrasi.
Jika dilihat data Freedom House untuk Indonesia dari 2013 sampai 2022, skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.
Walhasil, Freedom House menetapkan status demokrasi Indonesia sebagai "partly free" alias belum sepenuhnya demokratis, sama seperti India.
Jadi pendek kata, kembali kepada prospek demokrasi global dari tiga pemilihan umum, dengan perkembangan politik di ketiga negara, Amerika Serikat, India, dan Indonesia, yang secara demografis menjadi tempat tinggal sekitar 2 miliar manusia, masa depan demokrasi dunia memang sedang diuji.
Progres positif atau negatif atas pergerakan demokrasi di ketiga negara ini diperkirakan akan sangat memengaruhi performa dan kepercayaan publik global atas sistem pemerintahan demokrasi.
Namun jika yang terjadi sebaliknya, di mana ketidakpastian global justru melahirkan aktor-aktor sayap kanan jauh atau kiri jauh yang justru berpotensi merusak institusi-institusi di ketiga negara ini, maka kepercayaan publik global akan semakin menurun atas demokrasi.
Dan itu akan menjadi awal masa depan yang suram bagi sistem pemerintahan demokrasi di seluruh dunia, di mana Indonesia juga berperan penting di dalam proses tersebut. Mudah-mudahan tidak demikian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.